Dan kemudian datanglah harapan—sebuah harapan yang disuarakan oleh petani Madura: koperasi petani tembakau berbasis desa. Mungkinkan juga Koperasi Merah Putih? Sebuah langkah untuk memutuskan ketergantungan pada tengkulak yang terus mempermainkan harga dan merugikan petani.
Dengan koperasi ini, mereka berharap dapat mendapatkan posisi tawar yang lebih kuat dan mendapatkan hasil yang lebih adil. Namun, harapan ini tetap terombang-ambing, tergantung pada kebijakan pemerintah yang lebih berpihak pada kepentingan besar dan bukan pada kesejahteraan petani kecil.
Ironisnya, meskipun negara mengantongi triliunan rupiah dari cukai rokok yang diproduksi petani Madura, sebagian besar dari mereka masih merasa tidak dihargai. Bagaimana mungkin sebuah negara bisa merasa bangga dengan pendapatan cukai yang melimpah, sementara mereka yang menyumbang untuk pendapatan tersebut justru dibiarkan hidup dalam ketidakpastian?
Farid dengan tegas menulis, “Keadilan fiskal bukan hanya soal pembagian dana, melainkan soal memastikan bahwa setiap orang yang ikut menghidupi negeri ini – termasuk petani tembakau Madura – tidak ditinggalkan di barisan belakang.” Dan ini kritik yang sangat penting untuk kita semua renungkan.
Madura, dengan segala kekayaan yang tersembunyi di ladang-ladang tembakaunya, pantas mendapatkan lebih dari sekadar pujian. Mereka pantas mendapatkan penghargaan yang setimpal atas usaha keras mereka.
Misallnya, sebagai langkah konstruktif, penting bagi pemerintah untuk mengalokasikan sebagian dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) untuk penelitian yang berfokus pada dampak kesehatan dan ekonomi dari konsumsi tembakau. Penelitian semacam ini dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana industri tembakau mempengaruhi masyarakat, serta membantu merumuskan kebijakan yang lebih adil dan berkelanjutan.
Sebagai contoh, di Malang, Jawa Timur, terdapat sebuah inisiatif yang dikenal sebagai “Rumah Sehat” hasil kajian seorang profesor dari Universitas Brawijaya. Inisiatif ini berfokus pada pengembangan filter rokok yang, menurut hasil penelitiannya, diklaim dapat mengurangi dampak negatif dari merokok.
Meskipun klaim ini masih memerlukan verifikasi ilmiah lebih lanjut, pendekatan inovatif seperti ini menunjukkan potensi besar dari penelitian lokal dalam mencari solusi terhadap masalah kesehatan yang terkait dengan tembakau.
Mantan Menteri BUMN, Dahlan Iskan, pernah menulis tentang inisiatif ini, menyoroti pentingnya dukungan terhadap penelitian yang dapat memberikan alternatif bagi perokok dan sekaligus membuka peluang ekonomi baru bagi petani tembakau.
Dengan mendukung penelitian semacam ini, pemerintah tidak hanya membantu meningkatkan kesehatan masyarakat tetapi juga memberikan jalan bagi petani untuk berinovasi dan meningkatkan kesejahteraan mereka.
Karena itu, alokasi dana DBHCHT untuk penelitian dan pengembangan di bidang kesehatan dan ekonomi terkait tembakau seharusnya menjadi salah satu prioritas. Langkah ini tidak hanya akan membantu mengurangi dampak negatif dari konsumsi tembakau tetapi juga memberdayakan petani tembakau untuk menjadi bagian dari solusi, bukan hanya sebagai bagian dari masalah.
Tembakau Madura mungkin bukan emas dalam pengertian yang biasa, tetapi bagi para petani, itulah tambang emas yang menghidupi mereka, dan sudah saatnya mereka merasakan manisnya hasil kerja keras mereka. Jika negara menikmati hasil dari tembakau, seharusnya negara juga memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi para petani yang telah berjuang untuk keberlangsungan industri ini.
Maka, saat kita bicara tentang tambang emas Madura, marilah kita tidak hanya melihat pada apa yang dihasilkan oleh bumi, tetapi juga pada siapa yang menggali emas itu. Karena di balik tembakau Madura, ada lebih dari sekadar daun yang hijau —ada kehidupan yang harus dihargai, ada sejarah yang harus diakui, dan yang paling penting, ada keadilan yang harus ditegakkan.