Jakarta, Energindo.co.id – Tumpahan minyak di Teluk Balikpapan beberapa tahun silam menjadi penyebab terdampar dan matinya Ikan Pesut. Untuk penangannya, saat itu tim gabungan dari BPSPL Pontianak wilayah kerja Balikpapan, KLHK, relawan, dan Forum Peduli Teluk Balikpapan sedang menangani Pesut yang mati tersebut. Hal itu dikemukakan oleh peneliti dari College of Science and Engineering, James Cook University, Australia, Putu Liza Kusuma Mustika dalam webinar Media Lounge Discussion (MELODI) pada Rabu (25/9/2024), pukul 13.00 WIB. Hajatan tersebut diselenggarakan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Jamak diketahui, beberapa pekan lalu, puluhan Ikan Paus pemandu sirip pendek (short-finned pilot whale) terdampar di pesisir Kecamatan Pureman, Kabupaten Alor, NTT. Fenomena terdampar dan matinya Ikan Paus seperti di Teluk Balikpapan dan NTT bukan yang pertama dan kedua kali terjadi di Indonesia. Hal ini dapat menjadi sebuah pertanda terjadinya gangguan terhadap ekosistem.
Agar peristiwa/fenomena tersebut tidak berulang, lanjut Icha, sapaan akrabnya, perlu dibuat panduan eksplorasi dan eksploitasi di industri hulu dan hilir minyak dan gas bumi (Migas) oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Disamping itu, Icha menambahkan untuk mencegah Ikan Pesut dan Paus mati dan terdampar hingga ke bibir pantai, diperlukan juga panduan laku saat berwisata di alam liar; panduan wisata lumba-lumba ex-situ (di kolam) “Apakah sebenarnya ini (wisata lumba-lumba di kolam) masih wajar di masa sekarang,” gugat Icha.
Hal lainnya, tambah Icha, dibutuhkan pula panduan tangkapan samping dan panduan perburuan (tradisional vs modern). “Perlu pula penjelasan sejauh mana satu perburuan dapat disebut ‘tradisional’? Panduan pembuangan limbah (terutama yang beracun) juga sangat diperlukan,” tutur Icha.
Fenomena terdamparnya Ikan Paus, lanjutnya, kemungkinan dapat disebabkan oleh faktor alamiah maupun faktor antropogenik. Icha menjelaskan Ikan Paus merupakan mamalia laut yang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan, seperti penggunaan sonar di bawah laut, pencemaran air, kontaminasi sampah laut, hingga badai matahari yang menyebabkan gangguan elektromagnetik pada kutub-kutub bumi. Paus menggunakan sonar untuk sistem navigasinya, sehingga bisa terganggu oleh penggunaan perangkat yang memancarkan gelombang elektromagnetik atau sonar di dalam laut seperti pada kegiatan eksplorasi migas.
“Menurunnya kualitas air juga dapat menurunkan imunitas paus, sedangkan semakin banyaknya sampah laut (terutama plastik) telah menyebabkan lebih banyak paus yang mati karena menelan sampah-sampah tersebut. Fenomena terdamparnya paus, seperti pada paus sperma, dapat juga berkaitan dengan terjadinya badai matahari,” tambah Icha.
Icha menyebut bahwa faktor alami lain seperti penyakit atau usia tua dapat membuat paus lebih rentan terdampar. “Paus yang sakit atau tua sering kali kehilangan kemampuan navigasinya, atau terpisah dari kawanan, yang menyebabkan mereka lebih rentan terdampar di pantai,” tambah Icha.
Kejadian ini perlu mendapatkan perhatian serius karena paus merupakan spesies yang dilindungi. Untuk itulah jejaring penanganan mamalia laut terdampar di Indonesia yang beranggotakan pegiat lingkungan, pemerintah pusat dan daerah, organisasi non-pemerintah, serta komunitas masyarakat di seluruh pesisir Indonesia terus bekerja sama melakukan tindakan penanganan dengan cara yang tepat, seperti upaya pengembalian paus ke laut bagi biota yang masih hidup, atau penguburan bagi biota yang sudah mati. Upaya penyelidikan lebih lanjut mengenai penyebab spesifik terdamparnya paus juga perlu dilakukan melalui nekropsi (bedah bangkai hewan).
Peneliti Ahli Madya dari Pusat Riset Oseanografi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Achmad Sahri menambahkan dari sisi pola distribusi kejadian paus terdampar di Indonesia. BRIN juga bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk dengan Peneliti dari College of Science and Engineering, James Cook University, Australia, untuk melakukan riset terkait ekologi paus dan kejadian terdampar, guna memahami lebih jauh tentang tingkah laku biota ini dan mencegah terulangnya kejadian serupa.
Riset yang dikerjakannya bersama Icha-Ketua Tim Peneliti dan beberapa peneliti dari Indonesia dan Amerika Serikat menelaah data kejadian terdampar selama 26 tahun dari tahun 1995-2021. “Selama periode 1995-2021, setidaknya ada 26 spesies paus dan lumba-lumba yang terdampar di perairan Indonesia. Satu dari enam spesies yang paling sering terdampar adalah paus pemandu sirip pendek yang juga terdampar di perairan Alor NTT beberapa minggu lalu,” imbuh Sahri.
Dikatakan Sahri, dengan memahami pola sebaran spasial dan temporal dari kejadian mamalia laut terdampar di Indonesia dapat mendukung upaya penyelamatan biota tersebut. “Informasi ini sangat penting bagi penanganan kejadian terdampar, terutama berguna untuk pengalokasian personil atau kemungkinan mendatangkan alat berat,” ungkap Sahri. “Identifikasi area rawan tersebut juga dapat meningkatkan kesempatan bagi keberlangsungan hidup biota yang terdampar,” tambahnya.
Kedua narasumber mengimbau, masyarakat di sekitar pesisir diminta untuk melaporkan kejadian serupa kepada pihak berwenang dan tidak melakukan tindakan yang bisa membahayakan paus. Masyarakat juga dihimbau untuk tidak mengganggu/menaiki tubuh paus yang terdampar, karena hewan ini dalam kondisi lemah dan perlu penanganan yang tepat. Segera laporkan kepada pihak berwenang untuk penanganan lebih lanjut. Dengan meningkatnya frekuensi kejadian terdamparnya paus di perairan Indonesia, BRIN bekerja sama dengan berbagai pihak akan terus melakukan penelitian terkait fenomena alam ini. Hal tersebut sebagai upaya untuk mencari solusi pencegahan yang lebih efektif serta memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pentingnya menjaga kelestarian ekosistem laut.