Apakah bisa hidrogen hijau menjadi energi di perusahaan tambang? Jawabannya sangat bisa. Hidrogren hijau bisa dipakai untuk menggerakan mesin besar menggantikan peran gas, solar, atau gas. Hidrogen hijau juga bisa dipakai untuk menggerakan kendaraan berat biasa dipakai dalam tambang. Sudah pasti, hidrogen hijau juga bisa dipakai untuk elektrifikasi di kawasan pertambangan.
Hidrogen hijau adalah sumber energi yang dihasilkan melalui proses elektrolisasi air menggunakan tenaga surya, tenaga angin, atau hidroelektrik, menghasilkan hidrogen hijau tanpa jejak karbon, sehingga menjadi sumber energi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Perusahaan tambang di Australia seperti Fortescue Metals Group (FMG) dan Orica Group memimpian pacuan dalam penggunaan hidrogen hijau. Perusahaan-perusahaan ini sedang dalam proses menuju penggunaan hidrogen hijau atau memimpin proyek-proyek terkait hidrogen hijau di negeri Kanguru itu.
Di Indonesia, Agincourt Resources, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, berada di barisan depan dalam menggunakan energi terbarukan melalui pemasangan panel surya dan penggunaan biofuel B35, serta menerima listrik hijau dari PLN melalui Renewable Energy Certificate (REC). Perusahaan ini sudah melangkah maju dalam menggunakan energi ramah lingkungan dan mungkin tinggal selangkah lagi untuk menggunakan hidrogen hijau.
Perusahaan tambang lainnya, PT Vale, Sorowako, Sulawesi, juga telah menggunakan tiga Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Ini berarti, perusahaan juga selangkah lagi untuk bisa memproduksi hidrogen hijau, lalu menggunakannya untuk kebutuhan industri tambangnya.
Di Indonesia, perusahaan yang berhubugan erat dengan pertambangan sudah mulai mulai memberikan perhatian serius pada hidrogen hijau. PT PLN (Persero) sebagai penghasil listrik telah membangun 21 unit Green Hydrogen Plant (GHP) tersebar di seluruh Indonesia. Langkah ini menjadikan PLN sebagai pengahsil hidrogen hijau terbesar di Asia Tenggara. Melalui langkah itu, PLN memproduksi 199 ton per tahun dan akan terus meningkat dari tahun ke tahun. Langkah ini juga membuat PLN menjadi pionir dalam hidrogen hijau.
Sementara itu, PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) melakukan terobosan besar, dengan membangun proyek percontohan Green Hydrogen (Hidrogen Hijau) di Ulubelu, Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung, sejak 9 September 2025. Pembangunan ini merupakan fasilitas pertama di dunia yang mengintegrasikan teknologi Anion Exchange Membrane (AEM) Electrolyzer dengan energi panas bumi sebagai sumber listrik bersih untuk memproduksi hidrogen hijau. Sayang belum ada proyeksi hidrogen hijau yang akan dihasilkannya. Pada 2029 nanti, saat produksi penuh sudah berjalan, proyek di atas diharapkan menghasilkan 300 Megawatt.
Untuk perusahaan swasta, sejak 2024 lalu, PT United Tractors Tbk (UT), bersama anak perusahaannya PT Energia Prima Nusantara (EPN), tekah berpartisipasi pada acara Electricity Connect. Perusahaan yang banyak mensuplai kebutuhan tambang ini memperkenalkan inovasi hijau, yang meliputi solusi bisnis hijau, pengembangan pembangkit hijau, serta pengembangan ekosistem hidrogen hijau.
Sementara itu, anak usaha PT Astra International, PT Bina Pertiwi, dalam ajang Mining Expo 2025, 17–20 September 2025, menampilkan forklift Plug in Hydrogen Fuel Cell yang dirancang untuk meningkatkan efisiensi sekaligus mengurangi jejak karbon. Meski akan produksi secara massal pada awal 2026 nanti, kehadirannya berhasil menarik perhatian banyak pengunjung sepanjang pameran. Forklift ini awalnya menggunakan baterai penuh. Namun, kapasitas baterainya kini dikurangi hingga 80 persen, lalu digantikan oleh fuel cell berbasis hidrogen.
Merujuk data Hydrogen Council (2024), Brussels, Belgia, permintaan hidrogen hijau di pasar global akan terus meningkat, dari 90 juta ton pada 2020 menjadi 140 juta ton pada 2030, meningkat lagi menjadi 385 juta ton pada 2040, serta 660 juta ton pada 2060. Untuk kebutuhan dalam negeri, PT Pertamina NRE memperkirakan kebutuhan pada 2050 akan mencapai 469 terawatt jam (TWh).
Sejauh ini, China, Amerika Serikat (AS), India, Rusia, dan Inggris menjadi negara yang mempunyai permintaan tinggi pada hidrogen hijau. Secara global, penggunaan hidrogen hijau didominasi oleh sektor ketenagalistrikan, transportasi, dan industri.
Indonesia penuh dengan sumber daya alam yang bisa kelola untuk menghasilkan energi hijau. Kementerin Energi dan Sumber Daya Mineral menyebutkan bahwa pada 2024 lalu, potensi energi surya di negeri di garis katulistiwa ini mencapai 3,2 Terra Watt (TW) namun yang dimanfaatkan sebesar 345 Megawatt (MW). Sedangkan energi hidro yang tersedia mencapai 95 Gigawatt (GW) namun baru dimanfaatkan sebesar 6,7 GW. Kemudian terdapat energi bayu/angin dengan potensi sebesar 155 GW, walakin baru dimanfaatkan sebesar 154 MW. Adapun menurut Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), potensi panas bumi di Indonesia mencapai 24 Gigawatt (GW), namun yang dimanfaatkan baru 2,5 Gigawatt (GW).
Banyak persoalan untuk dapat memanfaatkan hidrogen hijau, sebagaimana banyak duri untuk memetik bunga mawar yang merekah. Persoalan itu adalah: Pertama, biaya produksi yang mahal. Investasi untuk mengolah hidrogen hijau masih tinggi, berkisar antara US$3,8 per kilogram hingga US$12 per kilogram. Ini bermakna, biayanya sekitar empat kali lebih mahal dibandingkan energi dari fosil (minyak dan gas).
Kedua, hidrogen hijau rata-rata berada di pedalaman, sehingga membutuhkan biaya besar untuk infrastruktur, lalu untuk konstruksi. Setelah ada hasilpun masih memerlukan biaya besar untuk jaringan transmisi listrik.
Ketiga, kebijakan pemerintah untuk pengembangan hidrogen hijau masih setengah hati. Misal, di satu sisi mendorong energi hijau, namun di sisi lain masih memberi subsidi besar untuk energi fosil.
Meski begitu, secara ekonomis, pemanfaatan hidrogen hijau masih menjadi investasi yang menarik. Hal ini karena biaya yang dibutuhkan adalah hanya untuk investasi awal, sementara selanjutnya tinggal memetik hasil dengan biaya perawatan yang relatif murah.
Menurut catatan Institute For Essential Service Reform (IESR), Investasi global untuk hidrogen hijau pada 2020 mencapai 102 proyek dengan nilai US10 milyar. Namun pada 2024 meningkat tajam menjadi 434 proyek dengan US75 miliar. Ini berarti Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perusahaan swasta berpeluang untuk menangkap animo dari masyarakat internasional itu, dengan menawarkan potensi hidrogen hijau yang tersebar di seluruh Indonesia, plus jaminan kepastian hukum dan kemudahan berbisnis.
Untuk menghimpun pendanaan dalam negeri, karena keuangan negara masih “galau” dengan hutang-hutangnya yang jatuh tempo, maka bisa dilakukan dengan cara menghimpun sebagian dana Corporate Social Responsibilty (CSR). Sesuai dengan amanat Undang-Undang (UU), perusahaan perlu mengalokasikan 2-4 persen dari keuntungannya untuk CSR.
Berapa dana CSR yang sudah ada di Indonesia? Tak ada hitungan pasti. Tapi jumlahnya kira-kira sebagai berikut: Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada 2025 diproyeksikan mencapai Rp24.316 triliun. Jika keuntungan perusahaan setara dengan pertumbuhan PDB yang kira-kira sebesar 5 persen berdasarkan perhitungan pesimistis, maka keuntungan perusahaan Indonesia diperkirakan Rp 1,215 Triliun. Jika begitu, maka dana CSR perusahaan diperkirakan sekitar Rp4 Triliun. Nah, kalau Rp 1 Triliun saja dari dana CSR seluruh perusahaan itu digunakan untuk hidrogen hijau, maka hasilnya relatif memenuhi kebutuhan awal investasi.
Cara lainnya adalah memohon keikhlasan dari pelanggan PLN untuk memberikan sumbangan sebesar Rp 1000 perbulan, namun dengan jaminan kalau hidrogen hijau sudah terproduksi, maka uang pelanggan dikembalikan dalam bentuk pulsa listrik.. Sebagai informasi, sampai Mei 2025 pelanggan PLN berjumlah 85,4 juta pelanggan. Ini berarti dalam satu bulan akan terkumpul Rp 85,4 Miliar atau Rp. 1,020 Triliun pertahun. Ini merupakan jumlah yang juga memadai untuk dana awal investasi energi hijau.
Untuk mengeksplorasi hidrogen hijau, baik dengan menghimpun dana CSR atau dari masyarakat (pelanggan PLN), atau dengan mekanisme pendaan lain, diperlukan lembaga dengan personalia yang kredibel, transparan, dan akuntable. Tikus-tikus nakal tidak boleh mendekat, apalagi ikut berkecimpung di dalamnya.
Terlepas dari berbagai kesulitan itu, dukungan Pemerintah terhadap pengembangan hidrogen hijau patut diapresiasi, meski harus tetap ditingkatkan. Berdasarkan keterangan dari Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, saat membuka “Global Hydrogen Ecosystem Summit (GHES) 2025” di Jakarta, Selasa (15/4/2025), bahwa Pemerintah mendukung pengembangan hidrogen hijau melalui tiga hal, yaitu: pertama, penataan regulasi dan insentif, dengan target untuk menciptakan ekosistem energi bersih yang berkelanjutan. Insentif sangat penting untuk menurunkan biaya produksi hidrogen hijau. Kedua, membangun ekosistem hidrogen hijau yang dimulai dari produksi, regulasi, hingga mendorong pasar dan permintaan. Kini di Indonesia sudah terdapat sejumlah titik yang menghasilkan hidrogen hijau, baik yang diprakarsai PLN, Pertamina, industri pupuk, atau perusahaan lainnya. Keitga, Kementerian ESDM telah meluncurkan Peta Jalan (Roadmap) Hidrogen dan Amonia Nasional (RHAN), berisi analisis produksi, pemanfaatan, dan rencana aksi untuk mengembangkan ekosistem hidrogen.
Kita patut bergembira, karena dalam beberapa tahun ke depan, Indonesia mempunyai potensi besar untuk menjadi sultan dalam soal hidrogen hijau.










































































