Jakarta, Energindo.co.id – Kasus tambang nikel di Raja Ampat diketahui telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi pariwisata dan perikanan laut. Oleh sebab itu, pengembangannya fokus kepada pengembangan pariwisata. Bila satu daerah telah ditetapkan sebagai daerah wisata maka tidak boleh dikembangkan sebagai daerah pertambangan mineral. Demikian diungkapkan oleh Direktur Center for Energy Policy, M. Kholid Syeirazi.
“Setahu saya proses memberikan kekhususan penambangan di wilayah hutan konservasi dilakukan sejak tahun 2004. Saat itu dilakukan revisi Undang-undang Kehutanan yang kemudian digugat oleh masyarakat civil society ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang menganggap ketentuan tersebut fatal. Sebab berdampak pada kerusakan lingkungan,” kata Kholid pada Energindo, Rabu (11/6/2025). Jadi sejak tahun 2004 ada upaya untuk membolehkan penambangan di area hutan konservasi dengan izin penggunaan hutan atau mengubah peruntukan lahannya menjadi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Peraturan ini diatur dalam UU No. 19 Tahun 2004, yang juga mengatur pemberian izin kepada 13 perusahaan tambang di kawasan hutan, yaitu:
1. PT Freeport Indonesia terbagi dua, yaitu di Kabupaten Mimika, Papua, untuk tahap kegiatan produksi, jenis tambang tembaga, emas, dan dmp, dengan luas wilayah perizinan 10.000 hektar.
Kemudian di Kabupaten Mimika, Paniai, Jaya Wijaya, Puncak Jaya, Papua, untuk tahap kegiatan eksplorasi, jenis tambang tembaga, emas, dmp, dengan luas wilayah perizinan 202.950 hektar.
2. PT Karimun Granit di Kepulauan Riau untuk tahap kegiatan produksi, jenis tambang granit, dengan luas wilayah perizinan 2.761 hektar.
3. PT Inco Tbk di Sulsel, Sulteng, Sultra, untuk tahap kegiatan produksi, jenis tambang nikel, dengan luas wilayah perizinan 218.528 hektar.
4. PT Indominco Mandiri di Kaltim, untuk tahap produksi, jenis tambang batubara, dengan luas wilayah perizinan 25.121 hektar.
5. PT Aneka Tambang di Maluku Utara, untuk tahap produksi, jenis tambang nikel, dengan luas wilayah perizinan 39.040 hektar.
6. PT Natarang Mining di Lampung, untuk tahap konstruksi, jenis tambang emas dmp, dengan luas wilayah perizinan 12.790 hektar.
7. PT Nusa Halmahera Minerals di Maluku Utara, untuk tahap produksi, konstruksi, dan eksplorasi, jenis tambang emas dmp, dengan luas wilayah perizinan 29.622 hektar.
8. PT Pelsart Tambang Kencana di Kalsel, untuk tahap eksplorasi, jenis tambang emas dmp, dengan luas wilayah perizinan 201.000 hektar.
9. PT Interex Sacra Raya di Kaltim dan Kalsel, untuk tahap kegiatan studi kelayakan, jenis tambang batubara, dengan luas wilayah perizinan 15.650 hektar.
10. PT Weda Bay Nickel di Maluku Utara, untuk tahap eksplorasi, jenis tambang nikel, dengan luas wilayah perizinan 76.280 hektar.
11. PT Gag Nikel di Papua, untuk tahap kegiatan eksplorasi, jenis tambang nikel, dengan luas wilayah perizinan 13.136 hektar.
12. PT Sorikmas Mining di Sumut, untuk tahap eksplorasi, jenis tambang emas dmp, dengan luas wilayah perizinan 66.200 hektar.
13. PT Aneka Tambang di Sulawesi Tenggara, untuk tahap kegiatan eksplorasi, jenis tambang nikel, dengan luas wilayah perizinan 14.570 hektar
Oleh sebab itu, lanjut Kholid, hal tersebut perlu ditelusuri. Walaupun diperbolehkkannya sejak tahun 2004 dan revisi UU Kehutanan pada tahun 2014 apakah ikut rezim IUP pertambangan yang mulai didesentralisasi penerbitannya oleh pemerintah daerah tahun 2009 dengan adanya UU Minerba No 4 tahun 2009.
“Kalau misalnya ada perusahaan-perusahaan tambang nikel tersebut penerbitan izinnya setelah tahun 2009, artinya setelah efektifnya UU Minerba maka berarti yang menerbitkan izin itu Pemda. Karena itu kita harus lacak. Setahu saya PT GAG Nikel setelah UU Minerba. Dan perusahaan-perusahaan swasta yang ilegal itu mesti ditertibkan. Kalaupun ada izin, izinnya harus diperiksa. Siapa yang menerbitkan? Apakah ada indikasi perbuatan pidana? Kalau ada silakan diusut! Siapa pelakunya? Siapa pejabat berwenang yang harus dimintai pertanggungjawaban?” tanya Kholid.
Saat ditanyakan keberadaan PT GAG Nikel, Kholid menjawab, “Kalau PT GAG Nikel harus dievaluasi”. Kawasan Raja Ampat, imbuh Kholid, telah didesain sebagai kawasan pariwisata maka ekonominya harus berbasis pariwisata jangan berbasis tambang.
“Tambang ini merusak lingkungan. Apalagi tambang minerba yang merusak kontur lahan. Wilayah-wilayah pulau kecil juga dilarang ditambang. Jangan mengorbankan pembangunan berkelanjutan untuk revenue jangka pendek yang hasilnya tidak dapat menutupi kerusakan lahan dan resiko yang mungkin ditanggung oleh generasi mendatang. Apalagi menambang di pulau-pulau kecil,” tandas Kholid. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil dilarang.
Sebagai catatan, pariwisata berbasis alam memiliki peran vital dalam mendukung perekonomian setempat. Pada 2024, sekitar 30 ribu wisatawan berkunjung ke Raja Ampat, dengan 70 persen di antaranya berasal dari mancanegara. Jumlahnya naik hampir dua kali lipat dibanding pada tahun sebelumnya yang sebesar 19.839 turis.
Kunjungan wisatawan tersebut memberikan kontribusi sekitar Rp 150 miliar per tahun terhadap pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Raja Ampat. Nilai ekonomi ini belum termasuk dampak tidak langsung dari sektor lain yang turut tumbuh karena pariwisata.