Jakarta, Energindo.co.id – Pada umumnya mindset orang Indonesia jika berbicara smelter adalah big capital dan high capacity. Modal yang digelontorkan puluhan triliun. Akibatnya, mereka yang bermodal besar saja yang dapat membangun smelter. Padahal pengusaha skala kecil-menengah berbasis tambang rakyat sejatinya dapat pula membangun smelter skala mini. Tepatnya, mini smelter. Demikian diungkapkan oleh Direktur Utama (Dirut) PT Sulteng Mineral Sejahtera (SMS) Ahmad Sumarling pada media, Jumat petang (16/5/2025) di Jakarta.
“Ada teknologi anak bangsa, seperti alumnus ITB, yang dapat membangun smelter. Kita tidak akan membangun smelter berkapasitas 5000 ton per hari dengan modal Rp1 triliun. Kita tidak menjadi kompetitor pengusaha smelter kelas kakap. Kapasitas mini smelter yang akan kita bangun kurang lebih berkapasitas 50 – 100 ton per hari sesuai dengan kemampuan supply pertambangan rakyat. Modalnya Rp50 miliar,” ungkap Ahmad.
Dengan low capacity tersebut, infrastruktur pendukungnya tidak besar serta dampaknya juga tidak signifikan seperti smelter kapasitas gede. “Kebutuhan listriknya bisa gunakan genset,” tambah Ahmad.
Keuntungan membangun smelter, ungkap Ahmad, berdasarkan hasil uji laboratorium dan pengalaman dirinya, setiap nikel yang akan dijual ke smelter, memiliki 10 variabel mineral potensial. Karena yang diuji 5 – 10 tapi ternyata memiliki lebih banyak kandungan mineral potensial.
“Fakta hari ini, begitu saya jual nikel ke smelter, yang dibayar hanya nikelnya. Jadi, 9 mineral potensial ini tidak dibayar. Makanya produk smelter yang keluar bukan nikel murni tetapi feronikel karena ada mineral lainnya yang bercampur,” paparnya. Sembilan atau tiga atau lima mineral potensial pengikutnya, tidak membayar tax ke negara. Disinilah titik kerugiannya.
Atas dasar pengalaman tersebut, pihaknya menyatakan tidak boleh menyalahkan smelter. “Karena itu, kita harus lebih pintar. Yang kita pisahkan jangan hanya nikelnya. Dengan teknologi anak bangsa, nikelnya pisahkan, besinya pisahkan, silikanya pisahkan, mungkin juga ada bijih besinya dipisahkan. Dari fariabel-fariabel ini diperoleh income negara. Yang tadinya hanya membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) nikel, kita bayar juga PNBP bijih besi. Bahkan mungkin ada uranium kalau di sektor tambang timah. Jadi, ada mineral-mineral lain yang mungkin jumlahnya kecil tetapi nilai ekonomisnya besar,” papar consultant Senior Selangor Farm Sdn. Bhd di Kota Selangor Malaysia ini.
Pemilik tambang tembaga dan emas ini melanjutkan, tidak sedikit pengusaha yang telah mengembangkan mini smelter. Tapi fakta hari ini, kenapa tidak banyak orang yang mau masuk ke ranah ini, karena tidak menyiapkan circle dari hulu ke hilirnya. Misalnya, ada tambang emas di Aceh. Lalu, membangun smelter tanpa membangun kemitraan dengan pemilik tambang mineral. Akibatnya, supply tidak berlangsung lama, hanya berlangsung 5 bulan hingga 12 bulan. Karena itu, lanjut Ahmad, dirinya masuk ke hulu tambang dengan membangun kemitraan agar ada jaminan keberlangsungan supply.
Ahmad mengaku, smelter yang dirintisnya di Palu Sulteng hingga kini belum beroperasi. Pasalnya, selama tiga tahun lebih terhambat oleh perizinan. “Izin kami terhambat selama tiga tahun lebih,” tegas Ahmad. Padahal perusahaanya telah memiliki beberapa tenaga ahli, tenaga lingkungan, dan tenaga Keselamatan, dan Kesehatan Kerja (K3). Terdapat banyak hal yang tumpang tindih di regulasi.
Pemerintah, imbuh Direktur Operasional PT Fadlan Mulia Jaya ini, disadari maupun tidak, masih menganggap tambang rakyat dengan sebelah mata. “Kita harap Presiden Prabowo lebih peduli terhadap tambang rakyat dan masyarakat desa,” kata Ahmad. Karena bila pengelolaan tambang dimulai dari desa, maka tidak ada lagi anak desa ke kota mencari pekerjaan.
Sebagai pengusaha, selama ini telah melakukan pendampingan ke pelaku tambang rakyat. “Kita mengirimkan ahli geologi, ahli lingkungan dan ahli K3 sehingga raw material atau bahan baku yang dijual sesuai dengan spek yang dibutuhkan,” ujar mantan Direktur Cabang Batam PT Rajwa Internasional (Pertambangan Timah). Konsep inilah diharapkan oleh Ahmad dapat menasional. Dimana ada tambang rakyat, ada anak daerah yang juga membangun smelter. “Supaya tidak lagi sentralistik,” tegas alumnus di STIE Pelita Bangsa di Kota Bekasi ini. Dengan demikian, sektor pertambangan bisa melibatkan warga sekitar dalam proses penambangannya.
“Warga tidak hanya mendapat limbah negatif dari pertambangan tetapi bisa mendongkrak tingkat ekonomi dan kesejahteraannya,” tandas Ahmad, seraya menambahkan keuntungan dari pemerintah daerah dari pembangunan mini smelter adalah penambahan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari produk dari mini smelter.