Jakarta, Energindo.co.id – Kotaku, sumenep, saat ini merayakan Hari Jadinya yang ke 756. Berarti usianya sudah tujuh setengah abad lebih. Dalam perjalanan sejarahnya yang sangat tua itu, Sumenep terbentuk menjadi kota dengan penduduknya yang santun dan beradab. Lepas dari perubahannya yang makin profan, Sumenep juga disebut sebagai kota yang religius, pantulan dari saripati keagamaan yang dibangun para ulama dan pesantren sejak dulu yang menjaga harmoni antara Tuhan, manusia dan alam.
Ada sesuatu yang menarik dari taqline Hari Jadi Sumenep tahun ini. Taglinenya “Ngopeni Sumenep”. Ngopeni kosa kata Madura yang maknanya adalah merawat, memelihara, dan atau menjaga. Dengan taqline ini Pemerintah Daerah Sumenep berkomitmen untuk memelihara nilai, kultur dan tradisi masyarakat Sumenep yang terbentang selama tujuh abad lebih itu.
Tapi saya melihatnya ada paradoks. Dalam realitasnya, yang terjadi di kotaku jauh dari makna taqline “ngopeni” itu. Saya bisa memberikan berlembar-lembar contoh soal paradoksnya antara cita dan faktanya. Tapi biar tidak capek saya akan mengambil beberapa saja.
Contoh paradoks 1
Saudara-saudara kita di Pulau Kangean beberapa bulan terakhir ini sedang membangun ketahanan kolektif berjuang melawan perusahaan migas yang akan merusak ruang hidupnya, ekosistem laut yang sejak dulu menjadi salah satu basis kebudayaan masyarakat kepulauan. Luar biasa perjuangan rakyat Kangean. Inspirasinya perjuangannya sekarang meluas ke Sampang, nelayan di sana juga bergerak dan tidak tinggal diam.
Tapi bagaimana respon pemerintah daerah yang punya taqline “Ngopeni Sumenep”? Sampai sekarang nihil, karena dalam pernyataan pejabatnya pemerintah daerah nyata berpihak terhadap perusahaan. Bukankah pengeboran migas merusak? Dan yang paling menderita akibat kerusakannya adalah warga lokal? Sementara kekayaaan sumber daya alamnya untuk pengusaha yang entah tinggal dimana. Berarti taqline Hari Jadi Sumenep sudah ingkar janji.
Contoh Paradoks 2
Hari ini musim penghujan. Tahun lalu kota Sumenep terendam banjir. Bagaimana Pemerintah Daerah mau ngopeni kota agar tidak banjir lagi? Tentu masalah banjir bukan sekedar soal sampah di selokan sebagaimana yang sering dinyatakan pemerintah daerah. Tapi soal tata ruang. Selatan kota yang merupakan area persawahan dan sejak dulu menjadi resapan air seharusnya tidak dialihfungsikan sebagai lahan bisnis. Tetapi faktanya sekarang? Hotel, tempat hiburan, perumahan, rumah sakit saling berebut lahan ruang untuk akumulasi kapitalnya. Dan salah satunya punya “local strong man” yang semua orang tahu menjadi patron penguasa Sumenep. Jika seperti ini faktanya, sebenarnya siapa “diopeni” dan dirawat?
Paradoks 3
Soal kebudayaan yang cara “ngopeni” bagi saya juga paradoks. Kebudayaan di tangan pemerintah daerah tentu dengan angggaan besar hanya merawat artefak yang sifatnya lahir dan menyentuh kulit saja. Taruhlah monomen keris, festival tong-tong, Madura Ethnic Festival untuk menyebut beberapa contoh itu kegiatan seremonial yang hanya menyentuh kulit kebudayaan. Sementara cara berpikir, pandangan hidup, sistem etik, nilai-nilai luhur tak ada ruang sekedar untuk mendiskusikan. Contoh kecil saja, meski di Sumenep geliat sastra mengagumkan dan seringkali anak-anak muda Sumenep diundang dalam kegiatan literasi di luar, di kota sendiri justru tidak ada. Seharusnya pemerintah daerah membangun ruang-ruang kreatif kebudayaan bagi anak muda sehingga anak muda menggali tradisinya, bergulat, mengalami dan menginternalisasi. Tentu kegiatan ini tidak mungkin bisa terpenuhi hanya dengan festival gebyar yang hanya menyentuh kulit permukaan.
Tiga paradoks itu saja cukup bagi saya untuk mengatakan bahwa “Ngopeni Sumenep” hanya manis di bibir. Selebihnya akan “ingkar janji”. Jadilah Sumenep “karé towana” (cuma tinggal tua) yang hilang kebijaksanaannya.
Salam
Sumenep, 1 November 2025
Adz










































































