Jakarta, Energindo.co.id – Transformasi bisnis menjadi solusi alternatif bagi PT PLN (Persero) dalam menghadapi transisi energi di tengah dahsyatnya perubahan iklim. Mengubah arah kompetensi menjadi keharusan. Bila dulu jagoan di pembangkit PLTU dan PLTG, sekarang harus mumpuni di pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBET). Menerapkan prinsip-prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) dan menginovasi teknologi melalui digitalisasi, pemasangan sensor-sensor terus dilakukan untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim.
Demikian diungkapkan oleh Direktur Utama PT PLN Enjinering Chairani Rachmatullah di acara webinar “Meneropong Pencapaian ESG di Tengah HUT RI ke-80,” yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Energi Indonesia (AJEI) pada Kamis (25/9/2025).
Menurut Chairani perubahan iklim bukan ancaman yang jauh di masa depan, melainkan risiko yang nyata dan semakin meningkat bagi sistem energi.
Bencana terkait iklim semakin mengganggu operasi dan infrastruktur PLN. Untuk itu, lanjut Chairani perlu upaya peningkatan infrastruktur yang tahan terhadap perubahan iklim sangat penting untuk menjamin keamanan energi jangka panjang.
Dia mencontohkan fenomena El Nino yang mengurangi debit air di sejumlah PLTA. “Cuaca ekstrem mengganggu pembangkit, terutama PLTA saat El Nino. Karena itu, percepatan pembangunan energi baru terbarukan harus dilakukan. PLTS Cirata adalah salah satu langkah konkret kami,” kata Chairani.
Diketahui, 2023, fenomena El Niño menyebabkan kondisi kering yang berkepanjangan di Indonesia, mengakibatkan produksi tenaga air nasional turun sebesar 10,8% dibandingkan dengan tahun 2022.
Penurunan produksi tenaga air ini meningkatkan ketergantungan pada sumber energi lain, mengungkap kerentanan sistem energi terhadap risiko iklim dan kebutuhan akan ketahanan yang lebih kuat.
Lebih jauh Chairani mengutarakan bahwa
PLN mentargetkan skor ESG perusahaan turun dari level 27,4 pada 2025 menjadi 25 pada 2028. “Ini bukti upaya kami tidak hanya di lingkungan, tapi juga sosial dan tata kelola. ESG bukan sekadar jargon, tapi isu fundamental bagi bisnis jangka panjang,” tambahnya.
Untuk menjaga bisnis, imbuh Chairani, sustainability menjadi landasan strategi jangka panjang PLN. Ada beberapa argumen.
Pertama, perubahan iklim mempengaruhi fundamental bisnis. “PLN harus beradaptasi terhadap risiko fisik dan standar lingkungan yang semakin ketat,” katanya.
Kedua, PLN harus selaras dengan target iklim Indonesia dan global serta memberikan manfaat melalui akses energi listrik yang bersih dan andal.
Ketiga, pemangku kepentingan mengharapkan kepemimpinan iklim dan inklusi sosial melalui transisi yang adil, dengan memberdayakan dan melibatkan semua kalangan secara inklusif serta pengungkapan yang transparan.
Keempat, kekuatan finansial sangat penting
untuk mewujudkan infrastruktur, keterjangkauan, dan kinerja lingkungan secara menyeluruh.
Perangi perubahan iklim
Sementara di kesempatan terpisah, Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo mengungkapkan kunci untuk memerangi perubahan iklim adalah bagaimana komunitas global berubah dari terfragmentasi menjadi bersatu menjadi berjuang.
Darmawan menjabarkan, setiap ton emisi CO2 yang timbul antara satu tempat dengan tempat lainnya akan menimbulkan dampak kerusakan yang sama. Karena itu, guna melawan perubahan iklim tidak bisa hanya satu negara atau institusi saja melainkan seluruh pihak.
“Jadi harus diatasi dan ditangani oleh komunitas global, tidak hanya masyarakat Indonesia saja atau PLN, kita tidak akan mampu menanggung beban ini sendirian. Satu-satunya cara untuk maju adalah dengan berkolaborasi,” kata Darmawan.
Darmawan menambahkan, semangat untuk memerangi perubahan iklim juga perlu didasarkan rasa kepedulian untuk generasi mendatang. Dirinya berharap semangat perubahan iklim bukan hanya berdasarkan perjanjian semata.
”Ada banyak perjanjian lingkungan hidup internasional mulai dari Protokol Kyoto, Perjanjian Paris, tapi kami melakukan ini bukan hanya karena perjanjian internasional. Kami melakukan ini karena kami benar-benar peduli. Kita perlu memastikan bahwa masa depan generasi mendatang harus lebih baik dari masa depan kita,” lanjut Darmawan.
Untuk mendukung komitmen tersebut, lanjut Darmawan, sejak tiga tahun lalu, PLN telah menghapus rencana pembangunan proyek PLTU batubara sebesar 13 Gigawatt (GW). Langkah ini berhasil menghindarkan Indonesia dari 1,8 miliar ton emisi CO2 dalam kurun 25 tahun.
Lalu, PLN secara heroik juga telah merancang Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) paling hijau atau green RUPTL dalam sejarah Indonesia guna mencapai target Net Zero Emissions pada 2060.
“Kami sedang dalam proses merancang ulang perencanaan listrik nasional, 75% dari tambahan kapasitas pembangkitan berasal dari energi terbarukan, tidak ada lagi batubara dalam desain dan pengembangan, sisanya 25% berasal dari gas alam yang sebetulnya pengurangan emisinya sudah sampai 60%,” kata Darmawan.
Lebih lanjut, PLN juga menyiapkan strategi andal yang disebut Acceleration Renewable Energy Development (ARED) guna mempercepat transisi energi. Hal ini untuk mengatasi sejumlah tantangan seperti ketidaksesuaian antara lokasi pembangkit listrik berbasis EBT dengan episentrum kebutuhan listrik.
”Kami menghadapi beberapa tantangan. Ketidaksesuaian antara lokasi pembangkit listrik tenaga air skala besar dengan episentrum permintaan. Jadi, kami merancang dan mengembangkan apa yang kami sebut Accelerated Renewable Energy Development,” tutur Darmawan.

Melalui ARED kata Darmawan, potensi intermitensi dari EBT mampu diputus. Bahkan potensi EBT yang ada mampu dimaksimalkan. Dia mencontohkan bauran dari energi angin dan surya tanpa ARED hanya mampu diakses sebesar 5 GW saja, dengan ARED ini mampu ditingkatkan menjadi 28 GW.
Sebab, penambahan pembangkit EBT berbasis surya dan angin yang bersifat intermiten menyebabkan fluktuasi dan berpotensi memberikan tekanan cukup besar pada sistem kelistrikan.
“Karena itu, kami membangun ARED yang dibekali Smart Grid secara end-to-end dan pembangkitan yang fleksibel. Dengan hadirnya Smart Grid dan Flexible Generation, penambahan kapasitas pembangkit listrik tenaga angin dan surya meningkat hampir enam kali lipat dari 5 GW menjadi 28 GW pada tahun 2040,” ujar Darmawan.
Darmawan menekankan, transisi energi juga penting untuk mempercepat pertumbuhan, membangun kapasitas nasional dengan menciptakan lapangan kerja. Di saat bersamaan, hal ini juga akan memberikan kesejahteraan pada masyarakat dan mengentaskan kemiskinan, serta mampu menjaga lingkungan.
”Transisi energi ini sangat penting kita lakukan dalam menyediakan energi berkelanjutan bagi masyarakat kita. Di sini saya ingin menyampaikan bahwa kami berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca untuk memperlambat pemanasan dan mendinginkan bumi,” tutup Darmawan.










































































