Pagerungan Besar, Energindo.co.id – Selasa pagi sekira pukul 06.40 WIB (17/6/2025) kami, Sofyan Badrie dari Energindo dan Albarsyah dari Topbusiness beranjak cek out dari Hotel Swiss-Belinn Airport Surabaya. Bergegas menuju Bandara Juanda, Surabaya. Tepat pukul 07.00 tiba-tiba telepon seluler berdering kencang. Seraya menyeruput kopi susu hangat, handphone diangkat. Terdengar suara seorang laki-laki menanyakan posisi kami; ‘Apakah Bapak sudah berangkat ke bandara? Kami menjelaskan kami sedang sarapan. Suara laki-laki di handphone meminta untuk segera ke bandara. “Pesawat akan take off pada pukul 08.30,” jelasnya. Tanpa berpanjang lebar kata, kami segera keluar hotel dan melaju dengan mobil Kijang ke bandara. Rupanya si penelepon adalah Tim Event Organizer pemberangkatan ke Pagerungan Besar.
Singkat cerita, sesampainya di Lounge Eksekutif Bandara, kami disambut Ibu Irfany, Humas Kangean Energy Indonesia (KEI). Dia menjelaskan tentang beberapa Program Pengembangan Masyarakat (PPM) KEI dan dukungan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) salah satunya kerajinan Kayu Santigi (Memphis Acidula) yang hingga kini masih bertahan dan berkembang. Bahkan menjangkau pasar internasional.
Setelah briefing keselamatan selama di pesawat menuju Pagerungan Besar, kami pun bergegas menuju pesawat. Tepat pukul 08.30 pesawat Pegasus Airlines berpenumpang 14 orang bersiap take off. Petualangan melayang-layang di udara selama kurang lebih 1 jam 20 menit ini menembus gugusan awan putih dan biru dan melintasi 126 pulau di wilayah Kabupaten Sumenep. Pukul 09.30 pesawat yang kami tumpangi mendarat di Bandara Khusus Pagerungan milik KEI.
Setibanya di Bandara Pagerungan Besar, kami disambut oleh tim KEI. Diantaranya Ahmad Baidowi, Comdev Officer KEI dan timnya. “Selamat datang di KEI,” sambut Ahmad Baidowi seraya menjabat tangan kami. Sesaat setelah mengisi daftar tamu dan memperoleh nomor mess penginapan di Blok B No 17, kami berjalan kaki kurang lebih 100 – 150 meter menuju arah mess penginapan dipandu oleh Ibu Fany.
Seusai melepas penat, sekira pukul 14.00 kami berbincang dengan Ahmad Baidowi yang didampingi Imam Rachmanto, Maintenance Superintendent KEI dan Ibu Irfany. Dalam perbincangan tersebut disinggung pula terkait kriya Kayu Santigi.
Kunjungan ke workshop
Menurut Ahmad Baidowi salah satu program PPM yang bisa bertahan hingga kini, Kerajinan Kayu Santigi. “Besok pagi, Bapak-bapak kami ajak berkunjung ke workshop pengrajin Kayu Santigi,” ucapnya.
Keesokan harinya, Rabu (18/6/2025) setelah menempuh perjalanan melewati hutan selama 45 menit, kami dipertemukan dengan Nur Hidayat, pengrajin Kayu Santigi. Pak Hidayat, begitu sapaan akrabnya, mengisahkan awal mula merintis kriya kayu Santigi. “Mulanya kita hanya berinisiatif saja. Sebelum pembebasan lahan operasi migas, kayu santigi sudah biasa kita jadikan pipa rokok, ular-ularan, tongkat komando, dan kerajinan lainnya,” kata Hidayat. Setelah KEI beroperasi, barulah ada tawaran untuk menjadi binaan usaha perusahaan migas ini.
Pihak perusahaan menawarkan kerjasama. “Apa yang bisa kita lakukan untuk pengembangan kerajinan Kayu Santigi,” kata Hidayat, menirukan ucapan dari orang perusahaan.
Gayung bersambut. Tawaran perusahaan diterima senang hati. Saat itu tahun 2005. Selanjutnya dibentuk kelompok kerajinan kayu Santigi, sebagai prasyarat menjadi binaan usaha KEI.
Saat ini terbagi dalam 7 kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 6 orang anggota. Omset 7 kelompok per bulan bisa tembus di atas angka Rp20.000.000
Sebagai binaan, usaha kerajinan kayu ini memperoleh berbagai bantuan. Mulai dari pelatihan manajemen, pembinaan dan dibawa ke beberapa pameran. Produk perdana kerajinan kayu Santigi yang dipesan khusus KEI berupa replika Kapal Arkarega dan cooper.
Tembus pasar global
Pada umumnya, produk kerajinan kayu Santigi, yaitu tasbih, pipa rokok dan gelang. Keempat jenis produksi kriya ini menjadi primadona. Laris manis di pasaran. Bahkan menembus persaingan di pasar internasional, seperti Australia, Malaysia, Lebanon dan Turki.
Dari penuturan Hidayat, pembeli Australia memesan hingga ratusan gelang. Selain itu, lanjutnya, dia memesan replika Kapal Pinisi dan perahu nelayan. Harga dibandrol Rp3.500.000. Sedang konsumen Malaysia membeli ikat pinggang dan tasbih. Orang Lebanon membeli Tongkat Komando. Ada pula pemesan dari Turki. Dia memesan 5000 buah tasbih tetapi masih masih proses negosiasi.
Sentuhan manajemen KEI juga menaikkan harga kerajinan kayu Santigi. Sebelum ada keterlibatan KEI, harga pipa rokok Rp2.500. Untuk harga tasbih Rp25.000. Setelah kriya kayu dipoles KEI, harga pipa rokok melonjak menjadi Rp20.000 -25.000. Begitu pun harga tasbih, meroket hingga Rp75.000.
Sedang harga tongkat komando sebelum ada pembinaan dari KEI berkisar antara Rp75.000 – 80.000. Kini melonjak diatas Rp200.000. Begitu pun harga Kapal Penisi, yang sebelumnya Rp700.000. Saat ini tembus hingga Rp1.750.000. “Pemesan replika Kapal Pinisi sudah tidak terhitung jumlahnya,” cetus Hidayat.
Sentuhan manajemen KEI tidak hanya meroketkan harga secara drastis tetapi menaikkan volume produksi. Hal ini berkat support alat-alat penunjang kerajinan. Misalnya, sebelum datangnya alat penunjang, pembuatan tasbih membutuhkan waktu lebih dari tiga hari. Untuk pembuatan Tongkat Komando bisa memakan waktu seminggu.
“Setelah dibantu peralatan, sehari bisa menyelesaikan lima buah tasbih. Untuk pipa rokok bisa tuntas 10 buah sehari, untuk Tongkat Komanda kelar dua hari,” papar Hidayat, dengan wajah berbinar. Untuk pembuatan Kapal Pinisi dibutuhkan dua bulan. Setelah dibantu peralatan oleh KEI bisa rampung 20 hari, tambah Hidayat.
Saat ditanyakan apakah produk kriya kayu Santigi turut memanfaatkan digital marketing, dia menjawab, “Sempat dipasarkan di market place seperti Tokopedia. Bahkan kita sempat melakukan zoom meeting dengan mereka”. Namun karena jaringan internet tidak stabil maka marketing digital tidak berkelanjutan. “Kita akan coba melakukan hal yang sama melalui media sosial seperti Facebook,” ujarnya.
Usaha kriya kayu Santigi ini tidak hanya berorientasi bisnis. Tetapi juga mengkader anak-anak sekolah. “Ada beberapa anak sekolah yang ikut dikaryakan di workshop ini. Misalnya, mereka mengamplas hasil kerajinan kayu. Mereka kita kasih uang jajan dari kerja di workshop ini,” tandas Hidayat seraya mengimbuhkan bahwa karya seni kayu tidak merusak lingkungan.
Pihaknya, imbuh Hidayat diwajibkan untuk terus menjaga lingkungan hidup di hutan. Ada sosialisasi dari KEI tentang penjagaan lingkungan hutan agar tetap lestari dan perlakuan ramah lingkungan. “Bukan hanya pembinaan kerajinan kayu tetapi KEI juga memberikan pelatihan pembuatan, manajemen dan administrasi serta pemasaran bisnis hingga penjagaan terhadap kelestarian hutan,” ungkapnya seraya menambahkan pihak KEI turut melakukan budidaya penanaman pohon Santigi.
Pengakuan ini diamini oleh Ahmad Baidowi. “Kita melakukan konservasi tanaman pohon Santigi. Ratusan bibit kita tanam di pesisir Pagerungan Besar,” ujarnya. Sebab, jenis pohon ini sudah langka. Menjadi kewajiban untuk terus menjaga, memelihara dan melakukan penanaman kembali sehingga ekosistem terus terjaga di tengah isu global perubahan iklim.
Sebagai catatan, pohon Santigi atau Kayu Stigi. Santigi merupakan tanaman perdu yang kerap dijumpai di wilayah pesisir dan disekitar hutan mangrove.
Kayu ini mendapatkan julukan “Si Raja Bertuah” karena dianggap memiliki nilai magis yang kuat. Stigi termasuk jenis kayu yang langka dan keberadaannya dilindungi oleh pemerintah. Pohon ini tidak dapat ditebang sembarangan, harus ada izin penebangan khusus.
Tim penulis juga diajak oleh Tim KEI untuk meninjau lokasi konservasi Pohon Santigi. Berada di areal operasi gas KEI, di bibir pantai Pagerungan Besar. Perincian konservasinya; tahun 2015 ditanam sebanyak 125 pohon. Tahun 2016 ditanam 150 pohon. Dan tahun 2017 sebanyak 100 pohon. Jadi, kriya kayu Santigi selain mendongkrak ekonomi warga juga menjadi solusi alternatif pengurangan emisi karbon.