Kepala Ekonom Bank Dunia untuk kawasan Asia Timur dan Pasifik Aaditya Mattoo mengeluarkan peringatan keras: “Indonesia tengah mengalami pergeseran struktural ketenagakerjaan, dari sektor pekerjaan formal ke sektor informal. Banyak pekerja produktif yang terjebak dalam pekerjaan gig economy,” kata Aaditya Matto kepada wartawan, saat konferensi pers World Bank East Asia and the Pacific Economic Update edisi Oktober 2025, di Jakarta (7/10/2025).
Gig economy adalah sistem ekonomi di mana pekerjaan dilakukan berdasarkan kontrak jangka pendek. Usaha mikro dan kecil yang melakukan kontrak secara lisan dengan pekerjanya juga termasuk dalam kategori gig economy.
Di Indonesia, istilah yang lebih familiar adalah pekerjaan sektor informal. Yang bekerja di dalamnya disebut pekerja informal. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan menyebutnya sebagai pekerja Bukan Penerima Upah (BPU). Menurut laman BPJS Ketenagakerjaan, kelompok yang masuk pekerja BPU cukup luas, meliputi pelaku usaha mikro/kecil yang mengerjakan usahanya sendiri; atau pekerja mandiri, seperti seniman, dan freelancer; atau pekerja sektor informal, seperti pedagang, nelayan, petani, sopir angkot, dan tukang ojek.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mengkonfirmasi peringatan Bank Dunia. Menurutnya, sampai Februari 2025 jumlah pekerja di sektor informal mencapai 86,58 juta orang, yang merupakan sekitar 59,40% dari total pekerja yang berjumlah 145,77 juta orang. Angka ini menunjukkan dominasi sektor informal dalam struktur ketenagakerjaan Indonesia, dibandingkan dengan pekerja formal yang berjumlah 59,19 juta orang atau 40,60%.
Bagaimana cara menyelesaikan persoalan di atas? Jawabannya gampang, yaitu memformalkan lapangan kerja informal. Dengan begitu, tenaga kerjanya menjadi formal dan mendapatkan perlindungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Tidak semudah itu Ferguso”, ungkap seorang netizen dalam sebuah kolom komentar di media sosial. Ketika menjadi entitas usaha yang formal, maka usaha mikro dan kecil harus mengikuti aturan yang berlaku, seperti perpajakan, perlindungan tenaga kerja, hak cuti dan libur, serta lain sebagainya. “Hal ini sangat merepotkan bagi usaha mikro,” ungkap Baihaqi, seorang pedang mikro di sebuah foodcourt di Cisoka, Tangerang, Banten.
Keberatan pelaku usaha mikro memang patut dipertimbangkan. Bayangkan, pedagang martabak misalnya, jika menjadi entitas usaha yang formal, harus membayar Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atau yang sebelumnya dikenal sebagai Pajak Restoran (PB1), dengan tarif maksimum yang ditetapkan sebesar 10 persen. Sudah begitu, masih ada Pajak Penghasilan sebesar 0,5 persen untuk usaha mikro dan kecil yang beromset Rp 500 juta atau lebih.
Jika pajak makanan dibebankan kepada konsumen, maka harga jual akan naik. Jika ditanggung pelaku usaha mikro akan menggerus profit, karena hanya itulah keuntungannya. “Keuntungan pelaku usaha mikro sangat minim. Kalau semuanya harus membayar dan tidak dikerjakan sendiri, ya bangkrut,” lanjut Baihaqi dengan penuh semangat.
Masih menurut Baihaqi, masih ada persoalan lain, yaitu oknum petugas pajak yang sering “gentayangan” menanyakan hal ini itu yang ujung-ujungnya adalah urusan duit. “Berbagai persoalan di lapangan membuat pelaku usaha mikro enggan beralih dari usaha informal menjadi formal,” ungkapnya penuh prihatin.
Dasar hukum untuk memberikan perlindungan kepada tenaga kerja informal sudah lumayan memadai. Ada Pasal 28 H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjamin hak setiap orang untuk bekerja dan memperoleh jaminan sosial. Ada UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mewajibkan pemberi kerja menyediakan kerangka dasar perlindungan, termasuk hak atas upah, keselamatan dan kesehatan kerja (K3), serta kesejahteraan sosial. Ada UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang mengatur pembentukan jaminan sosial untuk seluruh pekerja, termasuk pekerja informal. Ada juga UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang mengatur pelaksanaan jaminan sosial melalui BPJS Ketenagakerjaan, yang membuka akses bagi pekerja informal melalui skema pekerja bukan penerima upah (pekerja informal).
Pakar ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada Tadjuddin Noer Effendi menjelaskan bahwa pekerja bekerja di sektor informal karena terpaksa, seiring dengan maraknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Seringkali juga bersifat sementara waktu. “Meski begitu, pekerja informal harus mendapatkan perhatian, minimal terkait dengan jam kerja, upah, dan perlindungan lainnya,” ungkap sang profesor sebagaimana diungkapkan melalui laman www.ugm.ac.id.
Di antara berbagai persoalan tenaga kerja informal, ada secercah harapan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenakerjaan yang membuka layanan pada pekerja informal Bukan Penerima Upah (BPU).
Untuk ikut serta BPJS Ketenagakerjaan BPU, pemberi kerja atau pekerja sendiri secara mandiri hanya perlu memabyar Rp16.800 per bulan untuk program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm), atau membayar Rp36.800 per bulan untuk melengkapi layanan di atas dengan program Jaminan Hari Tua (JHT). Murah bukan?
Jumlah Peserta Aktif BPJS Ketenagakerjaan sampai Agustus 2025 adalah 40,99 juta. Dari jumlah itu, berapa yang mendaftar sebagai pekerja BPU? Belum ditemukan data resmi. Namun sebuah sumber di artificial intellegence mengungkapkan bahwa anggota BPJS Ketenagakerjaan dari jalur pekerja BPU berjumlah 9,5 juta. Ini berarti, dari seluruh anggota BPJS yang aktif, 23,18 persen di antaranya berasal dari pekerja informal. Sementara itu dari 86,58 juta pekerja informal hanya 10,9 persen (9,5 juta) saja yang baru menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan.
Ketika ditanya perihal perlindungan pekerja informal, Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Maman Abdurrahman bahwa kementeriannya fokus pada pembinaan UMKM yang belum formal menjadi formal. Sedangkan soal pekerja merupakan ranah Kementerian Tenaga Kerja. Walau begitu, berbagai kementerian harus berkolaborasi untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa dan negara. “Kementerian UMKM harus berkolaborasi dengan kementerian ketenagakerjaan. Harus berkolaborasi dengan pihak swasta. Semuanya harus berkolaborasi,” ungkapnya ketika ditanya jurnalis www.energindo.co.id secara door stop setelah meresmikan Pembukaan Pameran Usaha Waralaba di ICE BSD Tangerang, Jumat, 31/10/2025.
Ya, kolaborasi merupakan kata kunci untuk menyelesaikan berbagai persoalan terkait pekerja informal. BPJS, swasta, pelaku usaha, dan Pemerintah/Pemerintah Daerah semuanya harus berkolaborasi dengan semangat mengedepankan kepentingan rakyat di atas kepentingan lainnya.
Bahkan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) pun sudah mulai berkolaborasi dalam program perlindungan tenaga kerja informal ini. Pada unggahan melalui instagram resminya @baznasindonesia, 29/10/2025, lembaga pengumpul dan penyalur zakat ini mengumumkan: “BAZNAS bekerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan dalam program perlindungan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm) bagi pekerja rentan yang seringkali bekerja dilingkungan tidak aman berisiko tinggi, dan berpenghasilan rendah.”
Ayo selamatkan pekerja informal! Mereka adalah pelindung bangsa dari krisis lapangan kerja, krisis ekonomi, bahkan juga krisis moralitas karena melatih insan pekerja untuk berjuang keras dalam mendapatkan rezeki halal.










































































