Jakarta, Energindo.co.id – Kejaksaan Agung akhirnya menetapkan Muhammad Riza Chalid (MRC), yang selama ini dikenal sebagai gembong mafia migas, sebagai tersangka kasus korupsi Tata Kelola Minyak. Penersangkaan MRC telah merobohkan mitos bahwa MRC selama ini diyakini tidak tersentuh sama sekali oleh aparat penegak hukum. Demikian ditegaskan Fahmy Radhi,
pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Menurutnya, dalam pemburuan rente migas yang merugikan negara, MRC selalu memanfaatkan Pertamina dan ana-anak perusahaannya. “MRC menggunakan PT Petral di Singapore untuk merampok uang negara melalui bidding impor miyak dan blending impor BBM. Lalu markup biaya pengapalan melalui PT International Shipping dan mengolah minyak mentah menjadi BBM melalui PT Kilang Pertamina Internasional,” kata Fahmy pada Energindo, Jumat sore (11/7/2025). Modus serupa digunakan oleh Muhammad Kerry Adrianto, anak kandung MRC, dengan memanfaatkan PT Patra Niaga, yang merugikan negara sekitar Rp 193,7 triliun per tahun selama lima tahun.
Jamak diketahui, Kejaksaan Agung telah menetapkan tujuh tersangka, termasuk Kerry, atas dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina pada tahun 2018-2023.
Lebih jauh Fahmy mengungkapkan, pada saat Pemerintahan Presiden SBY, Menteri BUMN Dahlan Iskan mengendus bahwa Petral digunakan oleh MRC sebagai sarang mafia migas sehingga Dahlan akan membubarkan Petral. Tetapi tidak sanggup membubarkannya, lantaran menurut Dahlan Iskan bahwa backing Petral mencapai langit tujuh.
“Baru atas rekomendasi Tim Anti Mafia Migas, Presiden Jokowi berani membubarkan Petral. Tanpa endorse Jokowi mustahil Petral dapat dibubarkan. Namun, saat Menteri ESDM Sudirman Said akan menyerahkan hasil forensics audit korupsi Petral, konon menurut Sudirman Said, Jokowi mencegahnya sehingga tidak ada satu pun tersangka, termasuk MRC,” papar Fahmy.
Fahmy melanjutkan, “Sekarang Kejaksaan Agung sudah berani menetapkan MRC sebagai tersangka tentunya atas persetujuan Presiden Prabowo, yang mempunyai komitmen kuat untuk membrantas korupsi di negeri ini”.
Menurut Fahmy, tidak cukup Kejaksaan Agung hanya menetapkan MRC dan tujuh tersangka dugaan korupsi Pertramina, namun juga harus menetapkan DPO MRC dan memburunya serta memproses hukum MRC dan tujuh tersangka lainnya hingga dijatuhi hukuman setimpal. “Tanpa segera memproses secara hukum semua tersangka tersebut, maka pemberantasan korupsi pemerintahan Prabowo di Pertamina tidak lebih hanya pidato belaka dan omon-omon saja,” tegasnya.