Di atas cerobong setinggi 25 meter, api itu menyala, juga membara. Angin yang berhembus kencang membuatnya meliuk, bagai seorang penari yang mabuk asmara. Hujan deraspun tak mampu memadam geloranya, seperti kesatria penuh amarah durjana. Itulah salah satu pemandangan yang terlihat pada sebuah perusahaan eksplorasi minyak dan gas di Riau, Sumatera. Api itu merupakan hasil pembakaran gas suar yang harus dimusnahkan, karena mengandung anasir yang berbahaya.
Kini, persoalan gas suar merupakan salah satu masalah serius, bukan hanya bagi bangsa Indonesia, melainkan juga bagi masyarakat internasional. Laporan terbaru Global Gas Flaring Tracker (GGFT) mengungkapkan bahwa volume gas suar yang dibakar, secara global, terus meningkat dari 148 miliar meter kubik pada 2023, menjadi 151 miliar meter kubik pada 2024. Pada 2025 ini, jumlahnya pasti meningkat lagi.
Global Flaring and Methane Reduction (GFMR) memperkirakan bahwa pada tahun 2024 saja, gas suar melepaskan 389 juta ton emisi karbon, sebagian besar dalam bentuk metana yang tidak terbakar, sehingga membahayakan lingkungan dan makhluk hidup.
Bank Dunia melalui sebuah publikasi di tahun 2025 mengingatkan semua negara di dunia:“Peningkatan gas suar merupakan peringatan keras bagi produsen minyak dan gas untuk mempercepat upaya mengakhiri pembakaran rutin dan meminimalkan polusi dari operasi minyak dan gas.”
Untuk Indonesia, total volume gas suar mencapai 207 MMSCFD yang dibakar melalui 370 alat pembakaran. Sebanyak 72,55 persen dari gas suar mempunyai kandungan metana dan sisanya karbon yang tidak diinginkan.
Secara umum, berdasarkan laporan di tahun 2024, Indonesia menyumbang 2,3 persen dari seluruh emisi karbon dunia. Dalam konteks ini, Indonesia berada di atas Jepang. Sumbangsih gas suar Indonesia pada gas suar global kira-kira setara dengan konstribusinya pada emisi karbon dunia.
Pembakaran gas suar meningkatkan biaya operasional karena harus menjaga api tetap menyala agar gas suar tetap terbakar, membahayakan makhluk hidup, serta merusak lingkungan dengan emisi karbon yang ditimbulkannya. Wajar, sejak 2023 lalu The International Energy Agency (IEA) yang bermarkas di Paris, Perancis mendesak agar praktik pemusnahan gas suar melalui pembakaran dihentikan total sekurang-kurangnya pada tahun 2030 atau 4 tahun lagi. Mampukah Indonesia melaksanakan target tersebut? Wallahu a’lam…..

Secara ekonomis, gas suar yang dibakar pada 2024 secara global bernilai USD 63 miliar dolar AS, atau sekitar Rp 1.000 Triliun Rupiah. Padahal biaya yang dibutuhkan untuk mengolahnya menjadi listrik, compressed natural gas (CNG), liquefied petroleum gas (LNG), dimetil eter (DME), dan/atau keperluan lainnya sesuai dengan komposisinya tidak sebanyak biaya untuk pembakaran tadi. Namun, karena perusahaan migas ingin praktis dalam memusnahkan gas suar, mereka memilih untuk melakukan pembakaran.
Jonathan Banks dari Global, Methane Pollution Prevention (GMPP), Amerika Serikat, melalui laman resmi lembaganya mengatakan: “Solusi untuk masalah pembakaran gas sudah diketahui dan seringkali tidak mahal. Namun, hambatan utamanya adalah kurangnya kemauan politik dan tekanan regulasi untuk menerapkan solusi tersebut secara luas.”
Pemerintah Indonesia sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 30 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan serta Harga Gas suar pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Pasal 2 Peraturan Menteri itu menegaskan: “(1) Gas suar dapat dimanfaatkan untuk keperluan penyediaan tenaga listrik, pemanfaatan gas melalui pipa untuk industri atau rumah tangga, CNG, LNG, dimetil eter, dan/atau keperluan lainnya sesuai dengan komposisinya. (2) Pemanfaatan Gas suar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan menggunakan teknologi yang sesuai dan memperhatikan kaidah keteknikan yang baik. (3) Pemanfaatan Gas suar dapat dilaksanakan oleh Pembeli”.
Kelihatan bahwa Peraturan Menteri di atas kurang tegas dalam memberikan perintah, sebagaimana terlihat dari banyak kata “dapat” yang ada di Pasal 2 ayat 1, 2, dan 3. Ini menjadikan ketentuan yang terkandung di dalamnya bernilai himbauan. “Sunnah,”kata ilmu Fiqih.
Meski begitu, banyak perusahaan migas di Indonesia yang behasil mengolah gas suar menjadi komoditi bermanfaat. PT Pertamina EP berhasil mengolah gas suar menjadi energi alternatif di Onshore Receiving Facility (ORF) PHE WMO, Gresik. Proyek serupa juga sedang dikembangkan di Kilang Cilacap, Kilang Plaju, dan Kilang Dumai.









































































