Perusahaan minyak dan gas (migas) sudah berjuang keras untuk menjadi entitas yang hijau, baik saat mengeksplorasi, mengelola, atau mendistribusikan migasnya. Ada Upaya penghijauan di bekas tambang, kawasan masyarakat, atau pada daerah aliran Sungai. Ada usaha melalui penangkapan CO₂ dari sumber-sumber emisi (Carbon Capture Utilities and Storage), dan lain sebagainya. Namun stigma sebagai entitas yang “kotor” masih saja terngiang di mana-mana, terutama dari aktivis lingkungan hidup.
Ke depan, saatnya perusahaan migas perlu melangkah lebih akrobatik lagi, dengan mengolah flare gas menjadi listrik, Liquefied Petroleum Gas (LPG), Liquefied Natural Gas (LNG), atau energi lainnya yang dianggap lebih ramah lingkungan.
Flare gas mengacu pada gas alam berbahaya, sebagai hasil sampingan dari eksplorasi migas, terdiri dari campuran hidrokarbon, dengan komponen utama berupa metana. Selama ini flare gas dibakar melalui sistem yang disebut flare stack atau flare pit yang dirancang untuk membakar gas tersebut dengan aman.
Apakah flare gas merupakan salah satu masalah penting global terkait lingkungan? Laporan terbaru Global Gas Flaring Tracker mengungkapkan bahwa volume pembakaran gas global meningkat menjadi 151 miliar meter kubik pada 2024 dari 148 miliar meter kubik pada 2023, tingkat tertinggi sejak 2007. Selanjutnya, Bank Dunia Global Flaring and Methane Reduction (GFMR) Partnership memperkirakan bahwa pada tahun 2024 pembakaran gas melepaskan 389 juta ton CO₂e, dengan sebagian besar dalam bentuk metana yang tidak terbakar.
Bank Dunia melalui publikasi di tahun 2025 mengingatkan: “Peningkatan pembakaran gas pada tahun 2024 menyoroti perlunya produsen minyak untuk mempercepat upaya mengakhiri pembakaran rutin dan meminimalkan polusi dari operasi minyak dan gas.”
Untuk kawasan Indonesia, terdapat sekitar 370 flare gas stack dengan total volume 207 MMSCFD. Sebanyak 72,55 persen mempunyai kandungan metana dan sisanya impurities CO₂.
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan perusahaan migas yang melakukan kegiatan eksplorasi di Indonesia berkomitemen untuk mencapai target zero routine flaring di tahun 2030, namun pencapaian yang terjadi sampai saat ini masih memprihatinkan.
Yang cukup maju adalah PT Pertamina EP berhasil mengolah flare gas menjadi energi di Onshore Receiving Facility (ORF) PHE WMO, Gresik. Proyek serupa juga sedang dikembangkan di Kilang Cilacap, Kilang Plaju, dan Kilang Dumai.
Selain itu, PT Pertamina Drilling telah memperkenalkan pemanfaatan flare gas sebagai sumber energi alternatif dalam operasional rig, menggantikan penggunaan bahan bakar diesel yang selama ini mendominasi sektor pengeboran.
Yang cukup menarik adalah PT Pertamina NRE telah memulai kesepakatan tentang proyek Flare Gas to Power atau konversi flare gas menjadi energi listrik. Kesepakatan ini telah diimplementasikan sejak Februari 2025, meski sampai pertengahan Oktober 2025 belum ada kabar lebih lanjut.
Dengan begitu, pengolahan flare gas di Indonesia masih perlu ditingkatkan dari masa ke masa. Kepemimpinan PT Pertamina untuk mewujudkan Impian itu menjadi keniscayaan. Maklum, PT Pertamina terbukti berada di garis depan dalam pengolahan flare gas menjadi energi lebih bersih.
Untuk memainkan peran ini, PT Pertamina bisa mengkoordinisasikan sumber daya perusahaan migas untuk bersatu dan bersama-sama membangun pengolahan flare gas. Bagaimana dengan soal pendanaan? PT Pertamina bisa menghimpun dana investasi dari masing-masing perusahaan atau melalui dana Corporate Social Responsibility. PT Pertamina bisa menerbitkan semacam Patriot Bond seperti yang diterbitkan Badan Pengelola Investasi Danantara sebanyak Rp 50 Triliun dengan bunga 2 persen per-tahun yang dipasarkan pada konglomerat tertentu. Namun “Green Bond” (katakanlah begitu namanya untuk sementara waktu) yang akan diterbitkan oleh PT Pertamina dibeli oleh perusahaan-perusahan migas yang menghasilkan flare gas.
Investasi pengolahan flare gas tidak mahal-mahal amat untuk ukuran perusahaan migas. PT Pertamina NRE saja membutuhkan Rp 1,5 triliun untuk mengolah flare gas di Balongan menjadi listrik. Perusahaan lainnya bisa membentuk konsorsium di antara mereka untuk melakukan hal yang sama atau bergabung di bawah kepemimpinan PT Pertamina. Di mana ada usaha, pasti ada jalan.
Karena itulah, PT Pertamina dan perusahaan migas lainnya perlu lebih serius lagi untuk mengolah flare gas menjadi energi yang lebih bersih. Semoga upaya ini dapat membersihkan perusahaan migas dari stigma kotor. Amin…..









































































