Jakarta, Energindo.co.id – Sebagai negara kepulauan, Indonesia bakal memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Teknologi tenaga nuklir disetting bakal mulai commercial operation date (COD) pada 2032. Termaktub dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025 – 2035 yang telah disahkan oleh kementerian, BUMN, ESDM dan Keuangan bahwa pada 2032 akan dibangun PLTN pertama di Sumatra dengan kapasitas 250 Mega Watt (MW). Dilanjutkan pada 2033 di Kalimantan dengan kapasitas 250 Mega Watt. Padahal industrialisasi lebih banyak beroperasi di Pulau Jawa.
Menanggapi persoalan tersebut, Didik Fauzi Dakhlan, Executive Vice President Divisi Manajemen Aset Enjiniring, dan Sistem Manajemen Terintegrasi Direktorat Teknologi Enjiniring dan Keberlanjutan PT PLN (Persero) menerangkan dari 28 lokasi yang bisa dibangun PLTN tidak hanya di luar Jawa tetapi ada juga di Pulau Jawa.
“Pak Dirut PLN selalu mengatakan, there is no transition without transmission, tidak ada transisi energi tanpa transmisi. Transmisi inilah yang akan menyalurkan energi-energi EBT, yang ada di luar Jawa ke pusat-pusat beban yang mungkin terdapat kota-kota besar dan kawasan industri. Kita ada proyek Green Enabling Supergrid, akan ada jalur Sumatra terkoneksi ke Jawa, Sumatra terkoneksi ke Batam. Bahkan yang fenomenal Kalimatan terkoneksi ke sistem Jawa. Jadi sudah ada proyek-proyek untuk enabler ini, termasuk nuklir,” papar Didik pada Energindo seusai memaparkan presentasinya di acara Workshop Nasional BKTN-PII dengan tajuk “Re-industrialisasi: Kesiapan Insinyur Profesional dan Industri dalam Mendukung Pembangunan PLTN Pertama di Indonesia” pada Senin (13/10/2025) di Jakarta..
Menurutnya, PLN siap menerima teknologi yang akan membangun PLTN sekaligus hasil yang berupa listrik dari PLTN untuk disalurkan kepada masyarakat. Disamping itu, PLN siap jika ditugaskan Pemerintah untuk menjadi perusahaan atau mitra terkait dengan pembangunan PLTN.
Menurut Didik, pihaknya menunggu terkait dengan site selection dan teknologinya yang akan ditetapkan oleh NEPIO (Nuclear Energy Program Implementing Organization) badan yang akan dibentuk oleh Pemerintah untuk mempercepat membangun PLTN.
Tidak dipungkiri Didik, pembangunan PLTN melibatkan multi disiplin ilmu, multi fungsi dan banyak melibatkan kementerian dan lembaga seperti PII (Persatuan Insinyur Indonesia) maka persiapannya tidak hanya di PLN. “Sebagai contoh, BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) dan Bapeten (Badan Pengawas Teknologi Nuklir) telah menetapkan 28 lokasi yang bisa dibangun PLTN. Dikerucutkan menjadi 8 lokasi vang dapat dibangun PLTN,” ujarnya. Kemudian dilanjutkan dengan kajian dari PLN dan sub holding PLN terkait pre feasibility study beberapa lokasi yang telah ditetapkan BRIN.
Sebagai informasi, PLN melalui anak perusahaannya, PLN NP dan PLN IP, tengah melaksanakan inisiatif strategis dalam pengembangan PLTN di Indonesia dengan fokus pada teknologi Small Modular Reactor (SMR). PLN NP berkolaborasi dengan KHNP & LAPI ITB, dilakukan pra-studi kelayakan (Pre-Feasibility Study) di dua lokasi potensial, yakni Kalimantan Barat dan Pulau Bangka, mencakup aspek teknologi, keselamatan, regulasi, tapak dan fasilitas pendukung, finansial, serta dampak sosial dan lingkungan.
Secara paralel, PLN IP juga bekerja sama dengan NuScale Power (AS) dalam Techno-Economic Assessment (TEA) di Pantai Gosong, Singkawang, untuk mengevaluasi aspek teknis, ekonomi, dan kesiapan penerapan teknologi SMR di Indonesia.
Studi ini bertujuan untuk memetakan kelayakan dan kesiapan nasional dalam mengintegrasikan energi nuklir sebagai bagian dari transisi energi menuju sistem ketenagalistrikan rendah karbon yang andal dan berkelanjutan.
Sementara terkait dengan kemitraan PLN dengan PII, Ilham Akbar Habibie, Ketua Umum PII, dalam acara workshop tersebut menyatakan telah mengusulkan Roadmap Kesiapan SDM Nuklir 2025-2035, diantaranya melakukan magang/secondment ke fasilitas nuklir dan proyek ketenagalistrikan besar dengan PLN untuk penguatan pipelin.
Selain itu, imbuh Ilham Habibie, PII juga menyiapkan langkah terukur dalam jangka pendek. Salah satunya menyusun kerangka kompetensi PLTN Indonesia dan skema sertifikasi terkait -sinkron dengan kebutuhan PLN. “PII siap menjadi orkestrator pengetahuan dan mitra strategis bagi PLN,” tegas Ilham Habibie.
Hal senada juga diutarakan oleh Khoirul Huda, Ketua Dewan Badan Keahlian Tenaga Nuklir Persatuan Insinyur Indonesia (BKTN-PII). Dia menyatakan pembangunan PLTN tidak dapat mengenyampingkan peran penting insinyur Indonesia dalam mendukung pembangunan infrastruktur energi masa depan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. “PLTN diharapkan mampu mendorong terciptanya re-industrialisasi nasional, di mana industri dalam negeri diharapkan tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi turut berperan aktif sebagai rantai pasok komponnen dan material dalam pembangunan instalasi PLTN,” kata Khoirul.
Proyek prestisius
Dalam kesempatan tersebut Didik juga mengungkapkan RUPTL. Untuk pertamakali di RUPTL 2025 – 2035 yang telah disahkan oleh tiga kementerian, yaitu BUMN, ESDM dan Keuangan disebutkan bahwa pada 2032 akan ada PLTN pertama di Sumatra dan tahun 2033 di Kalimantan. Kapasitas PLTN yang akan dibangun di Sumatra sebesar 250 Mega Watt (MW). Sedang di Kalimantan 250 Mega Watt.
“Inilah proyek yang sangat prestisius,” tegas Didik. Karena lebih secure dari sisi ketersediaan dan bisa masuk base loud. Selain itu affordable, harganya bisa dijangkau masyarakat. Bila dilihat dari sisi dekarbonisasi, nilai karbonnya /Co2 lebih rendah dibandingkan tipe-tipe pembangkit yang lain, ungkap Didik terkait keunggulan listrik berbasis teknologi nuklir ini.
Peraih Doktor Program Teknik Elektro dan Informatika ITB ini tidak menampik dari sisi kapasitas PLTN yang dipasang lebih banyak terdapat di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Sementara titik Epicentrum of Growth pembangunan PLTN bergerak ke negara-negara Asia. Indonesia sebagai kawasan negara Asia Tenggara sejatinya memiliki PLTN. “Kita mulai dengan kapasitas setengah Giga Watt (GW) di Sumatra dan Kalimantan. Disusul dengan pembangunan PLTN lain berkapasitas mencapai 35 GW di tahun 2060,” ungkapnya.
Pembangunan PLTN dapat mewujudkan swasembada energi seperti yang dicita-citakan Presiden Prabowo melalui program Asta Cita. Namun PLTN harus affordable/murah. Untuk harga jual listrik PLTN, sesuai hasil kajian pihak PLN, rangennya cukup lebar. “Dari 6 sen USD – 24 sen USD per kWh. Kalau sisi paling bawah 6 sen USD masih bisa diserap oleh PLN maupun masyarakat. Tapi kalau 24 sen USD per kWh bisa menyerap tetapi dengan aturan-aturan Pemerintah terkait selling price,” ungkap Didik.
Saat ditanyakan apakah kelak aliran listrik dari PLTN dikhususkan untuk industri atau rumah tangga, Didik menjawab, “Kalau listrik interkoneksi. Jadi semua sources masuk. Intinya, siapapun bisa mengambil listrik PLTN kalau sudah masuk grid PLN”.
Disamping itu, listrik dari teknologi nuklir dapat menambah base loud yang bisa beroperasi selama 24 jam. Tidak tergantung cahaya matahari atau kecepatan angin maupun siang dan malam.
Disamping itu, PLTN menghasilkan CO2 yang rendah sekali. Walau demikian tidak berarti PLTN dapat menggantikan PLTU batubara. Tapi lama kelamaan energi fosil akan habis. Dan teknologi PLTN menjadi salah satu yang dapat menggantikan pembangkit listrik berbasis fosil. Tidak berarti saat PLTN ada langsung bisa diganti. Enggak begitu juga. Karena kebutuhan terhadap PLTU batubara tetap tinggi.
“Kami mengistilahkan sebagai fuel mix dan diversifikasi energi. Kalau memang ke depan semakin baik, bukan tidak mungkin PLTN akan mendominasi. Contohnya di Perancis, hampir 60% – 70% dari PLTN. Di Jepang 10% – 20% menggunakan PLTN. Sedang di Indonesia masih nol persen PLTN,” ungkap Didik.
Didik juga menjawab pertanyaan berapa jumlah ideal PLTN yang harus dimiliki Indonesia. Menurutnya, bila melihat peta jalan, pada tahun 2033 Indonesia memiliki kapasitas setengah GW. Kemudian secara bertahap pada tahun 2060 menjadi 35 GW. Sebagai gambaran, untuk beban puncak untuk Jawa- Madura- Bali (Jamali) mencapai 33 GW. “Kalau pada tahun 2060 memiliki 35 GW ya lumayan besar,” kata Didik seraya menambahkan setiap negara maju di dunia pasti memiliki PLTN yang dari sisi realibility, environmentally, ekonomi dan teknologinya dapat dimanfaatkan bagi kemajuan bangsa Indonesia.
Sebagai catatan akhir, tambah Didik, Indonesia masih berada pada Milestone 1 pengembangan PLTN, dari 3 Milestone proses pembangunan PLTN berdasarkan pendekatan milestone IAEA (International Atomic Energy Agency). Menurut hasil Integrated Nuclear Infrastructure Review (INIR) Mission 2009 menunjukkan 16 dari 19 aspek infrastruktur telah siap, meskipun aspek posisi nasional, manajemen, dan keterlibatan pemangku kepentingan masih lemah dan masih menghadapi tantangan berupa belum adanya keputusan politik tegas.
Tantangan lainnya adalah regulasi yang perlu diperbarui, keterbatasan SDM, ketidakseimbangan infrastruktur kelistrikan, serta resistensi publik yang tinggi sehingga membutuhkan strategi komunikasi dan edukasi yang lebih efektif.










































































