Jakarta, Energindo.co.id – Pertamina telah memetakan penghasil emisi di beberapa negara, seperti Singapura, Jepang, dan Korea Selatan sebagai calon buyer potensial untuk penyimpanan CO2 di Indonesia. Bahkan Pertamina dengan gagah berani mendeklarasikan kesiapannya untuk mengembangkan 12 proyek Carbon Capture and Storage (CCS) dan Carbon Capture, Utilization and Storage (CCUS). Total kapasitas penyimpanan mencapai 7,3 Gigaton CO2 dengan target injeksi karbon perdana pada 2030. Apalagi Indonesia memiliki potensi area penyimpanan tanah yang luar biasa banyak yang didukung oleh teknologi mutakhir dan posisi geografis yang strategis.
Demikian diungkapkan oleh Edy Karyanto, Direktur Perencanaan Strategis, Portofolio, dan Komersial Pertamina Hulu Energi (PHE) dalam Webinar bertajuk “Menakar Potensi Bisnis CCS/CCUS di Indonesia yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Energi Indonesia (AJEI) pada Selasa (22/7/2025).
PHE akan meluncurkan proyek percontohan CCS di Lapangan Asri Besar bekerja sama dengan ExxonMobil untuk menguji kesesuaian geologis dan potensi injeksi. Perusahaan berencana untuk menandatangani kontrak selama 30 tahun untuk pengangkutan dan penyimpanan CO₂, dengan opsi perpanjangan hingga 20 tahun.
Dari total kapasitas penyimpanan, 7 persen dialokasikan untuk penghasil emisi domestik, sementara hingga 30 persen akan dicadangkan untuk klien internasional, yang menyoroti ambisi Indonesia untuk menjadi pusat CCS regional.
Menurut Edy, PHE juga berencana untuk terlibat di seluruh rantai nilai CCS/CCUS − mulai dari mengidentifikasi sumber CO₂, penangkapan dan pemurnian, kompresi dan pengangkutan, hingga penyimpanan bawah tanah. “PHE telah mengidentifikasi penghasil emisi utama di Singapura, Jepang, dan Korea Selatan sebagai klien potensial untuk penyimpanan karbon di Indonesia,” tuturnya.
Untuk memfasilitasi proyek-proyek ini, PHE juga mengembangkan model bisnis karbon lintas batas, termasuk membangun terminal penerima CO₂ internasional untuk menangani impor karbon luar negeri untuk disuntikkan ke lokasi penyimpanan di Indonesia.

Menurut Edy, teknologi CCS/CCUS merupakan perangkat penting dalam mengurangi emisi industri, menawarkan solusi yang terukur bagi upaya dekarbonisasi domestik dan internasional. Inisiatif Pertamina Hulu Energi menempatkan Indonesia di garda terdepan dalam ekonomi penyimpanan karbon regional.
Edy menekankan bahwa keterlibatan PHE turut mengembangkan bisnis
CCS dan CCUS bukan semata mengejar target NZE (Net Zero Emission) tetapi dilihat pula sebagai potensi bisnis masa depan.
Kendati demikian, Edy tidak menampik tantangan terbesarnya adalah pendanaan dan keekonomian proyek. Di sisi lain regulasi dan keberpihakan pemerintah diharapkan dapat ditingkatkan agar potensi bisnis yang sangat menjanjikan di masa mendatang dapat benar-benar dioptimalkan.
Diperlukan insentif bagi Emitter dan Operator. Sebab biaya CCS saat ini masih sangat tinggi. “Dibutuhkan dukungan berupa insentif, baik pajak/non-pajak, bagi emitter dan operator sehingga tertarik melakukan CCS,” ujar Edy.
Bisnis CO2, lanjut Edy bersifat Cross Border.
Regulasi pajak karbon maupun ETS di luar negeri lebih berkembang daripada Indonesia.
“Izin transport dan trading CO2 cross-border diperlukan untuk mengambil value dari potensi bisnis tersebut,” katanya seraya mengimbuhkan bisnis jenis ini dibutuhkan kemudahan perizinan.
“Kemudahan perizinan terkait dalam seluruh value chain pengembangan CCS/CCUS mulai dari pelaksanaan studi subsurface, pembangunan fasilitas, dan operasional,” paparnya.
Support regulasi
Dalam kesempatan yang sama, Koordinator Pokja Pengembangan Wilayah Kerja Migas Non-Konvensional Kementerian ESDM, Dwi Adi Nugroho menambahkan menyebutkan bahwa Indonesia telah menyiapkan regulasi yang memungkinkan CCS/ CCUS berkembang, termasuk dalam konteks kerja sama internasional. Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 2 Tahun 2023 dan Perpres No. 14 Tahun 2024 menjadi dasar utama bagaimana pemerintah serius memperhatikan program ini.
“Saat ini kami juga sedang menyiapkan dua skema utama dalam pengembangan bisnis CCS/ CCUS ini sebab kami sedang menyusun Peraturan Pemerintah (lainnya) untuk memperkuat regulasi bisnis CCS secara komprehensif,” katanya.
Dwi menambahkan bahwa isu lintas batas atau cross-border juga menjadi perhatian dalam pengembangan CCS/ CCUS. Oleh sebab itu diperlukan payung hukum bilateral agar kerja sama antarnegara tidak hanya menguntungkan pihak asing. “Kita tidak mau hanya jadi tempat buang karbon. Harus ada kaitan dengan investasi, maka kalau ini tidak dimanfaatkan, ini bisa jadi masalah di kemudian hari,” katanya.
Tidak boleh hambat transisi energi
Sementara itu, Executive Director Indonesia Climate Change Trust Fund Kementerian PPN/ Bappenas, Yahya Rachmana Hidayat, mengingatkan bahwa CCS/ CCUS tidak boleh menjadi dalih untuk memperlambat transisi ke EBT. Sebab program CCS/ CCUS dengan program transisi energi dengan mengoptimalkan proyek EBT harus berjalan beriringan agar target NZE dapat dicapai dengan berbagai upaya kolaboratif.
“Kalau PLTU diperpanjang dengan alasan ada CCS, itu bisa menghambat pengembangan EBT. maka kita butuh kerangka regulasi yang mencegah konflik kepentingan ini,” tegas Yahya.
Ia menekankan bahwa program CCS/ CCUS ini harus difokuskan untuk sektor-sektor yang sulit didekarbonisasi, namun bukan dalam rangka untuk memperpanjang usia energi murah tapi kotor. Program untuk menuju energi bersih harus tetap menjadi program prioritas pemerintah untuk jangka panjang
Bappenas saat ini mengembangkan strategi super green development yang mengintegrasikan EBT, hidrogen, nuklir, dan CCS dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. “Kita perlu kepastian regulasi untuk menarik investor. Kami sedang menyusun panduan dan kerangka kerja sama teknis dengan Uni Eropa untuk memperkuat posisi Indonesia,” ujarnya.









































































