Sampah yang dihasilkan masyarakat Indonesia mencapai 56 juta ton per-tahun. Sudah dikelola sekitar 40 persen, sisanya masih tetap menjadi sampah yang menumpuk, dengan segala macam dampak negatifnya.
Kini, ada secercah harapan baru perihal dunia persampahan di tanah air. Ini semua karena Pemerintah telah merilis Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan Melalui Pengolahan Sampah Menjadi Energi Baru Terbarukan Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan (Perpres No.109/2025).
Meski begitu, muncul juga kekuatiran karena Perpres No. 109/2025 menyimpan persoalan, terkait dengan tugas-tugas yang membebani Pemerintah Daerah (Pemda) dan PT PLN (Persero). Apakah Pemda dan PT PLN (Persero) kuat menanggung beban berat dari Perpres itu? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.
Kementerian dan Lembaga Negara Harus Permudah Perizinan
Perpres Perpres No. 109.2025 memberikan penugasan yang tegas kepada kementerian dan lembaga terkait untuk memberikan dukungan. Dalam soal perizinan, misalnya, Perpres itu menugaskan kepada sejumlah kementerian, 1 pimpinan Lembaga negara, dan 1 kepala daerah untuk mempercepat dan menyederhanakan perizinan terkait Pembangunan PSEL. Kementerian itu adalah kementerian koordinator yang membawahi lingkungan hidup, kementerian lingkungan hidup, kementerian energi dan sumberdaya mineral, Kementerian dalam negeri, kementerian keuangan, kementerian investasi dan penanaman modal, kementerian agraria dan tata ruang, kementerian pekerjaan umum, dan lembaga pengelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
“Dalam rangka percepatan pembangunan PSEL, sesuai kewenangannya, memberikan percepatan dukungan perizinan dan non-perizinan serta penyederhanaannya yang diperlukan untuk pengelolaan sampah dan pengembangan PSEL,” demikian ditegaskan dalam Pasal 22 Ayat 4 Perpres No. 109/2025.
Tugas Berat Pemda
Sementara itu, Perpres No. 109/2025 menugaskan kepada Pemerintah Daerah (Pemda) untuk menjamin ketersediaan sampah, minimal 1.000 ton per-hari. jika Pemda wanprestasi dalam soal ketersediaan sampah ini, maka harus memberikan kompensasi kepada Bada Usaha Pengembang dan Pengelola PSEL (BUPP PSEL). Berapa kompensasinya? Tak ada ketentuan yang pasti. Bisa jadi dalam soal ini akan berlaku hukum rimba: yang kuat akan menindas yang lemah.
Selanjutnya, Pemda harus menjamin ketersediaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang dialokasikan untuk pengumpulan dan pengangkutan sampah ke lokasi PSEL. Selama ini Pemda sudah melakukan hal ini. Namun karena volume sampah lumayan banyak, beberapa Pemda, seperti Kab. Tangerang, Kab. Bekasi, dan daerah lain di Indonesia sangat keteteran. Untuk itulah, kita sering melihat tumpukan sampah di pinggir jalan, dekat pasar, atau kawasan dekat pemukiman.
Sayang sekali, Perpres No. 109/2025 tidak memberikan sentuhan apapun terhadap persoalan pokok ini, kecuali mengharuskan Pemda mengalokasikan APBD untuk mengumpulkan dan mengangkut sampah ke lokasi PSEL.
Selain itu, Pemda juga harus menjamin ketersediaan lahan pinjam pakai tanpa biaya selama sekitar 30 tahun, sesuai dengan masa kontrak BUPP PSEL. Ya, selama 30 tahun, Pemda harus mengikhlaskan pihak lain untuk menggunakan lahannya tanpa biaya sama sekali.
Terkahir, Pemda harus berkomitemen untuk menyusun dan menerbitkan peraturan daerah tentang retribusi pelayanan kebersihan. Sudah pasti retribusi ini ditujukan kepada masyarakat di suatu daerah agar mereka mendapatkan pelayanan kebersihan dari Pemda. Selama ini, retribusi ini sudah berjalan, namun karena kecil, maka pengangkutan sampah dari warga harus berselang, antara 2 atau 3 hari, bahkan ada yang sampai seminggu. Namun kalau retribusi dari warga dinaikan, muncul resistensi bahkan memicu masyarakat menolak pembayaran dan memilih buang sampah sembarangan. Persoalan ini juga merupakan persoalan yang serius, sayang sekali Perpres No. 109/2025 tidak memberikan jawaban maksimal, kecuali menyuruh Pemda membuat Perda terkait retribusi untuk kebersihan.
Tipping Fee yang Masih Abu-abu
Tipping fee adalah biaya yang harus dikeluarkan Pemda untuk melemparkan sampah ke satu tempat yang dihitung berdasarkan tonase sampah yang dibuangnya. Belajar dari pengalaman, Pemda DKI Jakarta pernah bersepakat dengan Pengelola Sampah di Sunter bahwa biaya tipping fee yang dikenakan adalah sebesar Rp 583 ribu per-ton sampah. Sedangkan Pemda Jawa Barat menentukan tipping fee sebesar Rp 386 ribu per-ton sampah.
Siapa yang menanggung biaya tipping fee? Kabar berita di berbagai media dan penjelasan pejabat negara mengabarkan bahwa Pemda tidak perlu kuatir dalam soal tipping fee karena akan menjadi beban PT PLN (Persero), namun kemudian akan diganti oleh Pemerintah Pusat. Namun jika kita memoloti Perpres No. 109/2025, ketentuan perihal tipping fee menjadi beban Pemerintah Pusat tak ditemukan.
Memang ada pasal yang menjanjikan kompensasi kepada PT PLN (Persero) jika pengembangan PSEL dan pembelian tenaga listrik yang dihasilkan menyebabkan biaya pokok di PT PLN (Persero) meningkat, sebagaimana terlihat dalam Pasal 20 Perpres No. 109/2025. Namun, Pasal 20 ini tidak menjelaskan siapa yang memberikan kompensasi itu? BUPP PSEL atau Pemerintah Pusat atau Badan Pengelola Investasi Danantara (BPI Danantara)? Hal ini karena Pasal 20 Perpres No. 109/2025 menggunakan Bahasa “PT PLN (Persero) diberikan kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan,”sehingga tidak ada kejelasan Lembaga mana yang memberikan kompensasi itu.
Wal hasil, ketidakjelasan perihal kompensasi ini pada ujungnya akan memberatkan PT PLN (Persero).
Beban Berat PT PLN (Persero)
Beban berat PT PLN (Persero) yang berikutnya adalah “PT PLN (Persero) ditugaskan untuk membeli listrik yang dihasilkan PSEL,” demikian tertulis dalam Pasal 6. Adapun harganya adalah “US$ 20 (dua puluh sen Dollar Amerika Serikat per kWh (kilowatt per jam) untuk semua kapasitas,”demikian tertulis dalam Pasal 19 ayat 2. Harga itu setara dengan sekitar Rp 3.200 Rupiah.
Harga ini jauh di atas harga yang ditentukan Perpres Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik yang menentukan harga pembelian PT PLN (Persero) adalah US$ 13,5 sen.
Harga listrik 20 sen dolar per kWh merupakan harga yang sangat menarik bagi para investor. Sebab harga listrik yang dibeli PLN melalui jalur non-sampah masih jauh di bawah ketentuan Perpres tadi, berkisar US$ 0,055 hingga US$ 0,145 per kWh (setara dengan sekitar Rp 825 hingga Rp 2.250 per kWh), tergantung pada jenis Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) atau sumber energi lainnya.
Sebagai perbandingan, tarif listrik untuk rumah tangga non-subsidi di Indonesia tahun 2025 sekitar Rp1.352 hingga Rp1.699,5 per kWh, yang setara dengan sekitar 8-10 sen dolar AS (tergantung kurs). Ini berarti PLN siap merugi sekitar Rp 1.300 per-KWH.
Dengan harga yang jauh lebih mahal dibandingkan pembelian yang dilakukan PT PLN (Persero) dari pihak lain, maka listrik dari sampah ini sudah pasti akan membebani keuangan perusahaan tersebut. Padahal penugasan Negara terhadap PT PLN (Persero) lumayan banyak, mulai dari mengaliri listrik ke daerah terpencil, memberi harga tertentu pada golongan masyarakat tidak mampu, mengembangkan hidrogen hijau, dan memperbanyak penggunaan energi baru terbarukan sebagai upaya mengurangi emisi karbon. Mampukah PT PLN (Persero) menanggung itu semua? Bisa jadi mampu, namun perasaan karyawan yang merasa perusahaannya harus memikul beban berat juga harus diperhatikan.
BPI Danantara Harus Lebih Merakyat
Tugas utama BPI Danantara dalam Perpres ini adalah memilih BUPP PSEL dan/atau berinvestasi secara langsung di dalamnya selama layak secara komersial, finansial, dan manajemen risiko. Ya, begitu saja.
Sementara tugas lainnya, seperti perizinan, menjadi tugas sekitar 1 kementerian, 1 dan 1 kepala daerah. Sementara itu, untuk menyeleksi kesiapan Pemerintah Daerah sesuai dengan persyaratan yang ditentukan Perpres ini, proses seleksi, verifikasi, dan evaluasi dilakukan oleh kementerian lingkungan hidup, dengan melibatkan kementerian yang mengurusi energi dan kementerian dalam negeri (Pasal 13 ayat 1).
Setelah menyelesaikan tugasnya (seleksi, verifikasi, dan evaluasi), lalu membuat ketetapan, maka tiga kementerian itu menyampaikan hasilnya kepada BPI Danantara (Pasal 13 ayat 4). Memang di sini agak aneh, 3 kementerian yang bernaung di bawah payung Undang-Undang terasa menjadi sub-ordinasi dari BPI Danantara, hanya dengan Perpres, bukan dengan Undang-Undang yang setara.
Terlepas dari soal itu, masyarakat tak perlu risau, selama BPI Danantara mampu membantu menyelesaikan persoalan sampah di tanah air, dengan mengolahnya menjadi hal yang bermanfaat. Jangan sampah pengolahan sampah melahirkan sampah baru.
BPI Danantara sendiri sudah berhasil menghimpun Patriot Bond sebanyak Rp 50 Triliun dari konglomerat pilihan, dengan suku bunga 2 persen per-tahun dengan tenor selama 5 sampai 7 tahun. Ini merupakan dana dengan biaya murah, karena suku bunga obligasi Pemerintah saja masih berbunga di atas 6 persen per-tahun. Obligasi Pemerintah periode 11 Oktober 2025 sampai dengan 10 Januari 2026 untuk seri SBR013T4 adalah sebesar 6,60%. Artinya, jika ongkang-ongkang kaki saja, dengan membelanjakan dana Patriot Bond ke obligasi Pemerintah, maka BPI Danantara akan meraih cuan besar.
Dengan posisi politik yang kuat, seperti tercermin dalam Perpres No. 109/2025, BPI Danantara seharusnya lebih merakyat lagi dalam pengolahan sampah menjadi listrik, antara lain, dengan mengurangi beban Pemda dan PT PLN (Persero). Dengan prinsip bergotong royong, berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing, maka pengolahan sampah menjadi energi listrik akan mudah diwujudkan.
Mari kita bercermin pada kasus pengembangan pengolahan sampah menjadi listrik di Sunter, Jakarta. Di zaman Gubernur Fauzi Bowo sudah dicanangkan dengan peletakan batu pertama, di zaman Gubernur Jokowi sudah ada dua calon pemenang dan tinggal ditentukan 1 saja, di zaman Gubernur Anies Rasyid Baswedan dirintis lagi, bahkan didukung Pemerintah Pusat dengan memasukannya sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), namun semuanya berujung nihil. PSEL Sunter tak bergerak, kecuali hanya berubah menjadi lahan parkir. Pangkal pokok dari kegagalan itu adalah karena tidak ada pemerataan beban dan pemerataan kenikmatan.
Peristiwa yang dialami PSEL Sunter memberikan hikmah besar yang semoga tidak terjadi pada PSEL yang akan dikembangkan pada 11 kota untuk tahap pertama dan untuk seluruh Indonesia pada tahap berikutnya. Semoga!









































































