Para santri itu berkumpul berkelompok antara 4 sampai 6 orang, duduk di bersama di gardu yang bersih, atau di bawah pohon yang rindang. Mereka sedang menikmati makan siang: sup kacang hijau. Iya, kacang hijau direbus dengan bumbu lengkap, ditambah irisan daging, sehingga rasanya menjadi gurih dan maknyus. Agar mengenyangkan, menu peninggalan Sunan Ampel Surabaya itu lalu ditambah ketupat yang masih beraroma daun kelapa. Semuanya menambah lahap dan selera makan.
Itulah salah satu pandangan di Pondok Pesantren Al-Yasini, Pasuruan, Jawa Timur, pada suatu hari yang cerah di bulan Agustus 2025. Pesantren yang berkembang pesat ini sudah mempunyai 3 ribu santri, baik putera maupun puteri.
Melewati kumpulan para santri yang sedang bersantap, kita tahu betapa senangnya mereka berada di pondok pesantren. Ada yang ngobrol soal keluarga, soal tata bahasa Arab, soal ijazah yang asli dan palsu, dan lain sebagainya. Ada juga yang menawarkan makan: “Om, ayo kita makan bersama. Makanannya enak, dimasak dengan energi T”, ungkapnya semangat.
Energi T tak perlu dijelaskan kepanjangannya, apalagi di tengah-tengah sekelompok remaja yang sedang makan. Dengan bantuan dari Pemerintah dan Pertamina, sejak Oktober 2017, pesantren ini sudah memanfaatkan limbah perut para santri untuk menjadi biogas, lalu dimanfaatkan untuk memasak berbagai panganan. Pesantren ini sudah berhasil menambang energi dari perut para santri.
Sungguh luar biasa! Tadinya dari perut santri keluar limbah yang dianggap kotor dan menjijikkan, namun di lembaga pendidikan tersebut, komoditas itu diolah dengan teknologi relatif sederhana menjadi bio gas yang sangat berguna. Dengan mengolah menjadi bio gas, maka bau tak sedap dari penampungan Energi T menjadi sangat berkurang, bahkan menghilang. Manfaat lainnya, pesantren bisa menghemat belanja, karena tidak perlu membeli gas elpiji. Hal ini karena, setiap 1000 santri menghasilkan biogas setara dengan 10 tabung gas elpiji setiap hari.

Ilustrasi instalasi pengolahan limbah versi AI. Semua gambar dan ilustrasi dalam tulisan ini menggunakan AI
Sementara itu, biaya instalasi pengolahan kotoran menjadi biogas juga ternyata tidak mahal. Untuk skala kecil, cukup Rp 5-Rp 10 juta. Sedangkan untuk skala menenagah dan besar, diperlukan dana sekitar Rp 50-Rp 100 juta. Biaya perawatan juga sangat murah. Pengalaman membuktikan bahwa dana yang diperlukan untuk perawatan hanya Rp 1-3 juta setiap 5 tahun.
Mari kita hitung secara makro. Pada 2025, kebutuhan gas bersubsidi mencapai 8,17 metrik ton gas setara dengan 8,170,000,000 (Delapan miliar seratus tujuh puluh kilogram) yang jika dimasukkan ke dalam tabung gas melon akan menghasilkan 2,72 miliar tabung gas 3 kilogram. Adapun subsidi Pemerintah untuk 8,17 juta metrik tonmencapai Rp 87 triliun. Harga gas elpiji 3 kilogram dari Pertamina Rp. 13.000. Padahal harga riilnya adalah Rp. 42 ribu. Jadi, ada selisih yang besar antara harga jual dan harga belinya, yakni sebesar Rp. 29 ribu. Kebutuhan gas bersubsidi mencapai 8,17 juta ton, setara dengan 2,72 miliar tabung gas 3 kilogram. Gas itu digunakan sekitar sekitar 63 juta keluarga plus sekitar 8,6 juta pelaku usaha mikro dan kecil, sehingga masing-masing membutuhkan rata-rata 3,8 tabung gas setiap bulan.


Bagaimana jika seluruh pesantren, dengan asistensi dari Pertamina misalnya, menambang energi dari perut santri? Di Indonesia, pada 2025, terdapat 42 ribu pesantren, dengan total santri 3,6 juta. Dengan asumsi setiap 1000 santri menghasilkan 10 tabung gas elpiji 3 kilogram perhari, maka energi yang bisa ditambang dari perut santri adalah sebagai berikut: 3,600,000 dibagi 1000 = 3,600 x 10 tabung gas perhari x 365 hari = 13.140.000 tabung gas 3 kilogram pertahun. Hasil ini bisa menghemat subsidi gas sebesar Rp 381.060.000.000, dengan asumsi biaya subsidi Rp 29.000 pertabung gas 3 kilogram dikalikan dengan 13.140.000 tabung gas 3 kilogram.
Nilai ekonomis dari penambangan energi dari perut santri memang sangat sedikit, yakni hanya sekitar 0,4 persen dari total subsidi untuk gas 3 kilogram. Tapi bagaimana jika seluruh kita menambang energi dari perut seluruh pelajar di Indonesia? Sebagai informasi, jumlah pelajar di negeri kita pada 2025 mencapai 52 juta pelajar. Karena mereka tidak tinggal selama 24 jam di satu tempat, sebagaimana santri, maka katakanlah setiap seribu pelajar akan menghasilkan biogas setara 5 tabung gas 3 kilogram perhari. Hasilnya adalah 52 juta peljar dibagi 1000 sama dengan 52.000, lalu dikalikan biogas setara 5 tabung gas 3 kilogram perhari, lalu dikalikan 365 hari, maka dalam setahun dari perut pelajar, kita bisa menambang biogas setara dengan 94.900.000 tabung gas ukuran 3 kilogram. Jika subsidi Pemerintah untuk setiap tabung adalah Rp 29 ribu, maka akan terhemat Rp 2,752 triliun. Jumlah ini setara dengan sebanyak 3,16 persen dari total subsidi Pemerintah untuk gas 3 kilogram.

Jika nilai di atas dianggap kurang bombastis, mari kita lihat dari sisi lain yang tidak bisa dinilai dengan materi. Pertama, pengetahuan dan pengalaman menjadikan limbah perut sebaga bio gas akan mengubah mind set para santri dan pelajar bahwa sesuatu yang dianggap kotor dan jorok, bisa diolah untuk menghasilkan uang.
Kedua, pengetahuan dan pengalaman tadi akan mendorong para santri dan pelajar untuk berpikir out of the box, yaitu berpikir untuk mengolah hal yang dianggap tidak berguna menjadi hal yang bermanfaat. Di negeri ini sangat banyak limbah yang dibiarkan begitu saja. Ada limbah dari buah kelapa, limbah dedaunan, limbah kotoran ternak, sampah rumah tangga, sampah dari usaha mikro, limbah pohon pisang, limbah dari nelayan, dan lain sebagainya. Semuanya membutuhkan sentuhan dari orang yang mampu berpikir out of the box agar menjadi hal yang berguna.
Ketiga, pengolahan limbah manusia menjadi biogas bisa mendorong santri dan pelajar untuk membuat pupuk organik dari limbah perut yang sudah terambil biogasnya. Ini juga akan mendatang sejumlah cuan tersendiri bagi santri khususnya dan bagi pesantren pada umumnya.
Keempat, pengolahan limbah manusia menjadi bio gas akan membuat lingkungan menjadi lebih bersih dari anasir-anasir yang dapat mencemari air dan lingkungan. Hal ini pada akhirnya akan mendorong santri untuk mencintai lingkungan.
Dengan berbagai keuntungan di atas, maka tidak ada salahnya jika pesantren dan lembaga pendidikan lain perlu untuk menambang energi dari perut santrinya. Hasilnya adalah energi baru terbarukan yang mendatangkan banyak manfaat, baik dari sisi lingkungan, ekonomi, dan yang terpenting merombak pola pikir para santri dan pelajar bahwa hal yang najis dan menajiskan bisa diolah sedemikian rupa sehingga menjadi fulus. Wallahu a’lamu bis shawab!












































































