Jakarta, Energindo.co.id – Sejak awal Juni 2024 pembeli LPG 3 kilogram (kg) diwajibkan untuk membawa Kartu Tanda Penduduk (KTP). Tujuannya, seperti dikemukakan oleh Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan agar penyaluran Liquefied Petroleum Gas (LPG) atau sering disebut LPG Melon tepat sasaran. Pasalnya, bahan bakar gas subsidi ini hanya diperuntukkan bagi kalangan tidak mampu tetapi acapkali melenceng dari sasaran. Hal ini diamini oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Dia mengungkapkan banyak orang kaya yang masih menikmati subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan LPG. Bahkan, kata Sri Mulyani, jumlah orang kaya yang menikmati BBM dan LPG subsidi ini lebih banyak dari jumlah rakyat miskin yang seharusnya menerima bantuan itu.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu menyebut berdasarkan data yang dimilikinya, orang miskin yang menikmati subsidi LPG 3 kg 23,3 persen dari sasaran. Padahal ketentuan pembatasan pembelian LPG Melon tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 104 Tahun 2007 dan Nomor 38 Tahun 2019. Disamping itu juga merujuk pada Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Nomor B-2461/MG.05/DJM/2022.
Dalam beleid tersebut diterangkan beberapa kelompok yang berhak membeli LPG Melon dan kelompok masyarakat yang tidak dapat membeli LPG Melon.
Kelompok yang dapat membeli LPG Melon yaitu, pengguna rumah tangga yang masih menggunakan minyak tanah dan tidak punya kompor gas; pelaku usaha mikro yang masih menggunakan minyak tanah; nelayan sasaran yang menggantungkan hidupnya dari hasil laut dan perikanan serta hanya memiliki kapal penangkap ikan berukuran paling besar 5 gros ton (GT), serta menggunakan mesin penggerak dengan daya paling besar 13 Horse Power; petani sasaran yang menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian dan perkebunan serta memiliki lahan pertanian paling luas 0,5 hektar dan hanya memiliki mesin pompa air dengan daya paling besar 6,5 Horse Power.
Sedang kelompok masyarakat yang tidak berhak membeli LPG Melon yaitu; Restoran, Hotel; Usaha binatu; Usaha batik; Usaha peternakan; Usaha pertanian (di luar ketentuan Perpres Nomor 38 Tahun 2019 dan yang belum dikonversi); Usaha tani tembakau; dan Usaha jasa las.
Setelah 5 bulan berlalu, bagaimana realitas pelaksanaannya, berapa jumlah pendaftar yang mendaftarkan Nomor Induk Kependudukan (NIK)nya dan apa respon masyarakat terhadap kewajiban membawa KTP untuk membeli LPG Melon tersebut?
Menurut data Pertamina Patra Niaga, per April 2024, sebanyak 41,8 juta Nomor Induk Kependudukan (NIK) telah mendaftar sebagai pembeli LPG Melon. Di mana mayoritas atau 35,9 juta NIK setara 86 persen adalah sektor rumah tangga.
Kemudian disusul usaha mikro (5,8 juta NIK), petani sasaran (12,8 ribu NIK), dan nelayan sasaran (29,6 ribu NIK), dan pengecer (70,3 ribu NIK).
Seorang penjual bakso curhat, ia merasa khawatir jika nanti diharuskan membeli LPG 3 kilogram (kg) menggunakan Kartu Tanda Penduduk (KTP), malah disalahgunakan.
“Saya khawatir penyertaan KTP untuk membeli Liquified Petroleum Gas (LPG) 3 kg akan disalahgunakan,” kata Mas Gondrong, penjual bakso yang menggunakan LPG 3 kg atau LPG Melon, yang mangkal di depan sebuah masjjid di Komplek Jatijajar Depok.
Saat ditemui Energindo pada Selasa (1/10/2024), dia menambahkan rasa khawatirnya di tengah maraknya penyalahgunaan KTP untuk pinjol yang hanya mensyaratkan KTP.
Tidak hanya Mas Gondrong yang khawatir. Abdul, pedagang mie ayam bakso, pengguna LPG Melon yang berkeliling di seputar kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini pun diliputi rasa takut bila KTP yang difoto oleh pihak pangkalan LPG 3 Kg disalahgunakan.
“Kita takut aja mas. Kita juga awam soal aplikasi digital di HP pintar yang harganya tidak terjangkau oleh rakyat kecil seperti saya,” katanya dengan nada suara tercekat.
Rasa was-was dari Mas Gondrong dan Abdul itu diamini oleh Eko, pemilik pangkalan LPG 3 kg Athariz GP di Tapos Depok Jawa Barat. Pasalnya, pria yang mengaku telah merintis dan mendirikan pangkalan LPG 3 kg ini sejak tahun 2010 kerap menerima keluhan dari beberapa konsumennya yang enggan dan merasa khawatir bila mensaratkan KTP untuk membeli LPG 3 kg.
Namun untuk meyakinkan para konsumennya, Eko menjelaskan bahwa pangkalan yang didirikannya adalah pangkalan LPG resmi dari Pertamina. Dia yang mematok harga Rp19,000 per satuan LPG 3 kg juga menjelaskan bahwa ketentuan tersebut berasal dari Pertamina.
Pertamina, kata Eko, yang pangkalannya memiliki 200-an tabung LPG 3 kg ini ingin penyaluran LPG 3 kg tepat sasaran kepada kalangan warga miskin. Sebab selama ini, warga kelas atas juga menggunakan LPG 3 kg.
Menurutnya, penggunaan KTP untuk pengetatan penyaluran LPG Melon sangat efektif. Pasalnya, dia pernah menolak beberapa orang konsumen yang diketahuinya bukan yang berhak. Bahkan mereka akan borong LPG 3 kg di pangkalannya, tetapi dia bersikukuh menolak sembari memberi pengertian. “Kasihan warga yang kurang mampu tidak kebagian LPG 3 kg, padahal itu hak mereka,” kenang Eko.
Terkait dugaan penyalahgunaan KTP, kepada para konsumennya, Eko tidak segan-segan menjaminkan dirinya sebagai jaminan apabila terjadi penyelewengan KTP.
Kekhawatiran konsumen terhadap penyalahgunaan KTP ini juga dialami oleh dialami oleh Bang Harahap, pemilik toko kelontong LPG 3 kg di Tapos Depok. Menurutnya konsumen yang membeli LPG di kiosnya merasa was-was saat dia meminta KTP. “Mereka menunjukkan raut wajah masam dan kaget diminta KTP. Tapi saya tidak memaksa menyertakan KTP,” terang Harahap seraya menjelaskan penyertaan dan pencatatan KTP dilakukan ketika kali pertama membeli saja. “Peraturan ini sangat efektif untuk menjaga LPG 3 kg tepat sasaran,” tegasnya.
Energindo juga mendatangi Agen LPG PSO Siaga di Kampung Banjaran Pucung Depok. Ubay, salah seorang pekerja di agen tersebut, menjelaskan sesuai ketentuan dari Pertamina, setiap agen tidak diperbolehkan menjual LPG 3 kg ke konsumen secara langsung. Biasanya, pihak agen langsung mendistribusikan LPG Melon ke beberapa pangkalan. Barulah dari pangkalan
tersebut LPG 3 kg dijajakan atau dijual ke konsumen atau ke pedagang eceran/toko kelontong.
Terkait persyaratan KTP bagi pembeli LPG 3 kg, Ubay memberikan penjelasan demikian. “Itu sebagai cara agar LPG 3 kg ini tepat sasaran dan ternyata efektif,” ungkap Ubay, mengutip pernyataan pihak Pertamina.
Terkait hal tersebut, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menyampaikan bahwa sejak awal kebijakan LPG 3 kg tertutup. Artinya hanya orang- orang tertentu yang boleh menggunakannya. Yaitu orang-orang miskin, sebagai pengganti minyak tanah.
“Kemudian, seiring berjalan waktu, banyak orang mampu yang menggunakan LPG 3 kg, termasuk orang yang tinggal di apartemen,” kata Tulus pada Energindo, Kamis (3/10/2024).
Fenomena ini, kata Tulus, harus dikanalisasi, dikendalikan agar fungsi LPG 3 kg seperti semula. Jadi yang menggunakan LPG 3 kg adalah orang miskin yang terdata di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial (DTKS Kemensos).
Tulus menegaskan bahwa KTP atau MyPertamina hanyalah instrumen untuk mengembalikan penjualan LPG 3 Kg secara tertutup, sesuai peruntukannya. “Jika dilakukan secara konsisten, cara ini bisa efektif,” tegasnya.
Sementara itu, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, pertama pengguna LPG 3 kg merupakan masyarakat miskin yang akan kesulitan memanfaatkan fitur pencocokan KTP secara digital. “Gap digital masih sangat terasa, terutama di daerah. Saya ragu menggunakan skema yang hampir mirip dengan verifikasi MyPertamina akan berhasil dalam jangka pendek,” kata Bhima pada Energindo, Jumat (4/10/2024).
Kedua, masih ada permasalahan terkait dengan KTP ganda atau peminjaman identitas milik orang lain untuk mendapat jatah subsidi LPG 3 kg. “Jadi masih ada potensi bocor,” ujarnya.
Ketiga, proses pencocokan data kemiskinan dengan data penerima sasaran subsidi LPG 3 kg masih bermasalah. Pencatatan masyarakat penerima LPG tersebut mengacu pada data Percepatan Pensasaran Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE). Total NIK (Nomor Induk Kependudukan) yang berhak mengonsumsi barang bersubsidi tersebut, menurut data P3KE, mencapai 189 juta orang. Namun, hingga akhir 2023 pencatatan konsumen LPG 3 kg NIK angkanya baru sekitar 16,67 persen atau 31,5 juta NIK yang sudah melakukan transaksi pembelian LPG 3 kg. Dari angka 31,5 juta NIK, hanya 24,4 juta saja yang sesuai data P3KE. Sisanya merupakan konsumen on demand atau di luar data tersebut.
Belum ada regulasi resmi KESDM
Diketahui, pemerintah kini tengah memperketat pengawasan penjualan LPG Melon di warung tradisional. Hal itu menyusul adanya imbauan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang meminta Pemerintah Daerah melarang pengecer atau warung menjual LPG Melon. Sehingga nantinya LPG Melon hanya bisa didapatkan atau dibeli di agen resmi saja.
“Itu akan ditertibkan melalui kerja sama dengan antar daerah untuk memastikan safety. Di sana (warung tradisional) bukan jalur resmi kami, tapi jalur distribusinya yang di agen resmi,” ujar Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Irto Ginting pada Energindo beberapa waktu lalu.
Kementerian ESDM hingga kini belum meluncurkan aturan resmi mengenai pendistribusian LPG Melon. Namun ESDM sudah mengimbau Pemerintah Daerah agar melarang pengecer atau warung menjual LPG Melon. Hal tersebut bertujuan untuk pendataan dan pencocokan data pengguna pendistribusian tepat sasaran.
“Proses transformasi ini akan dilakukan secara bertahap, dengan memperhatikan kesiapan data, infrastruktur, serta kondisi ekonomi dan sosial masyarakat,” kata Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agus Cahyono Adi, di Jakarta, Sabtu (1/6/2024).
Meski begitu, aturan pembelian LPG Melon dengan menggunakan KTP akan dilakukan secara bertahap. Selain itu, pemerintah juga masih belum membatasi pembelian LPG subsidi tersebut. “Jadi saat ini belum ada pembatasan langsung terhadap pembelian LPG 3 kg, melainkan perubahan pencatatan data pengguna LPG 3 kg,” tegasnya.
Saat ini, masih dilakukan tahapan pencatatan data pembeli LPG tabung kemasan 3 kg. Bagi seseorang dengan KTP yang belum terdaftar, ada tambahan waktu untuk difasilitasi pendaftaran pada sistem penjualan LPG.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kemendag Moga Simatupang mengatakan, pihaknya masih harus berdiskusi dengan Pertamina lagi ihwal kebijakan itu.
Menurut dia, masih banyak hal yang perlu dibenahi dalam sistem pendistribusian hingga penyediaan LPG.
“Kita akan koordinasikan dengan Pertamina karena banyak yang perlu dibenahi karena Pertamina sendiri kan ada SOP dalam pelaksanaannya, ada kelalaian, ada ketidakpatuhan, makanya kita akan kolaborasi dengan Pertamina supaya pengawasan terhadap LPG lebih tertib lagi,” katanya. Jadi, kunci sukses program pengetatan penjualan LPG Melon agar tepat sasaran kepada yang berhak dibutuhkan koordinasi antar lembaga/instansi, intensitas komunikasi dan konsistensi.