Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, mulai bergerak cepat mengubah masalah sampah menjadi anugerah. Terbaru, Presiden yang hobi berkuda ini merilis aturan terkait pengolahan sampah menjadi energi, terutama menjadi listrik. Ketentuan itu adalah Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan Melalui Pengolahan Sampah Menjadi Energi Baru Terbarukan berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.
Kini, sampah masih menjadi sumber musibah. Timbunan sampah di seluruh pelosok tanah air mencapai 56,63 juta ton per tahun, walakin yang baru diolah hanya 39,01%, lalu sisanya 60,99% masih tetap menjadi sampah, sumber masalah.
Perpres Pengolahan Sampah Menjadi EBT mendorong agar timbunan sampah itu dikelola sedemikian rupa sehingga bermanfaat, terutama menjadi energi Listrik. Pengolahan sampah ini sudah jamak di luar negeri, namun di Indonesia masih minim. Kalaupun ada, skalanya masih kecil atau masih uji coba.
Beberapa Pemerintah Daerah (Pemda) yang sudah mengolah sampah menjadi listrik adalah DKI Jakarta, melalui PLTSa skala kecil di Bantar Gebang, Bekasi, Kota Surabaya melalui PLTSa Benowo, serta Kota Surakarta melalui PLTSa Putri Cempo. Sementara itu, beberapa Pemda lain seperti Kabupaten Bekasi, Kota dan Kabupaten Bogor, serta Kota Medan masih dalam proses untuk mewujudkan program serupa.
Untuk Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) berbasis teknologi ramah lingkungan Perpres tadi mensyaratkan ketersediaan volume Sampah paling sedikit 1.000 ton/ hari selama masa operasional PSEL, ketersediaan APBD yang dialokasikan dan direalisasikan oleh Pemerintah Daerah, ketersediaan lahan, serta komitmen penyusunan peraturan daerah tentang retribusi pelayanan kebersihan.
Terkait pendanaan, Perpres menugaskan agar Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara untuk berinvestasi pada PSEL yang layak secara komersial, finansial dan manajemen risiko.
Lalu bagaimana dengan listrik yang dihasilkan dari PSEL? Perpres itu menegaskan “PT PLN (Persero) ditugaskan untuk membeli listrik yang dihasilkan PSEL,” demikian tertulis dalam Pasal 6. Adapun harganya adalah “US$ 0,20 (dua puluh sen Dollar Amerika Serikat per kWh (kilowatt per jam) untuk semua kapasitas”, demikian tertulis dalam Pasal 19 ayat 2. Harga itu setara dengan Rp 3.000 Rupiah.
Harga listrik 20 sen dolar per kWh merupakan harga yang sangat menarik bagi para investor. Sebab harga listrik yang dibeli PLN melalui jalur non-sampah masih jauh di bawah ketentuan Perpres tadi, berkisar US$ 0,055 hingga US$ 0,145 per kWh (setara dengan sekitar Rp 825 hingga Rp 2.250 per kWh), tergantung pada jenis Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) atau sumber energi lainnya.
Sebagai perbandingan, tarif listrik untuk rumah tangga non-subsidi di Indonesia tahun 2025 sekitar Rp1.352 hingga Rp1.699,5 per kWh, yang setara dengan sekitar 8-10 sen dolar AS (tergantung kurs). Ini berarti PLN siap merugi sekitar Rp 1.300 per-KWH.
Harga listrik yang harus dibeli PLN memang relatif mahal, namun masih dianggap wajar karena sudah termasuk biaya pengolahan sampah. Lalu bagaimana PLN menutupi kerugian akibat pembelian listrik dari pengolahan sampah ini?…..










































































