Pada bulan Agustus ini, negeri tercinta sudah memasuki usia 79 tahun. Dalam kurang dari 21 tahun ke depan, Indonesia memasuki usia emasnya pada tahun 2045. Pada tahun tersebut, Indonesia akan berusia 100 tahun atau biasa disebut seabad. Bangsa ini diharapkan mampu selayaknya negara-negara maju dan sejajar dengan negara adidaya.
Semakin bertambah usia negeri ini, maka semakin bertambah rakyatnya, dan begitu juga persoalan-persoalan yang muncul serta dihadapi. Dengan begitu usaha untuk mencapai target bangsa ini pada tahun 2045 pasti tidaklah mudah dan butuh persiapan yang matang. Oleh sebab itu, bangsa ini, dengan jumlah penduduk 2023 sekitar 281 juta jiwa dan menjadi nomor empat terbanyak di dunia butuh pasokan energi yang cukup dan ketersediaan lapangan pekerjaan. Oleh karena itu, negara membutuhkan sumber energi yang berlimpah, murah, mudah diakses dan ramah lingkungan sebagai sumber penggerak roda perekomian, pemerintah, kegiatan masyarakat dan lain-lain. Melihat pengelolaan sejauh ini, pengelolaan energi belum digunakan sebesar-besarnya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, dan menjaga kedaulatan negeri ini.
Dampak pengelolaan energi yang kurang bagi sektor energi adalah banyak industri yang pindah ke luar negeri, dan tutup serta investor memindahkan investasinya ke luar negeri. Sementara itu, dampak pengelolaan energi yang kurang baik bagi kedaulatan adalah tidak tercukupinya bahan bakar bagi TNI untuk melakukan patroli di wilayah perbatasan, sehingga banyak kapal-kapal asing yang mencuri perikanan di Indonesia.
Atas dasar hal-hal tersebut Indonesia harus merencanakan dan menyediakan berbagai jenis energi dalam jumlah atau porsi yang bervariasi sesuai dengan kebutuhan. Komposisi jenis dan jumlah energi tersebut tidak lain yaitu bauran energi (energy mix). Bauran energi adalah sekumpulan jenis energi primer yang berbeda-beda untuk menghasilkan energi sekunder atau final.
Bauran Energi seperti halnya menu makanan yang bisa menyebabkan sakit kalau kita kurang, berlebih atau salah makan. Bauran energi yang tidak tepat pun bisa menyebabkan terjadinya krisis energi. Sehingga, bauran energi bisa dipandang sebagai salah satu indikator bagi terwujudnya ketahanan energi di suatu negara.
Negara ini telah memiliki sejarah yang kurang baik dengan bergantung kepada minyak yang terjadi beberapa dekade yang lalu. Saat itu porsi minyak bumi sekitar 50% dalam bauran energi. Dampaknya telah mengganggu keuangan negara dan menjadi isu panas setiap terjadi perubahan rezim hingga kini.
Bauran Energi Salah Satu Indikator Ketahanan Energi
Istilah bauran energi biasanya ditunjukan kepada energi final yang dikonsumsi di suatu wilayah/negara berdasarkan jenis dan jumlah energi primer. Energi final adalah energi yang bisa langsung dikonsumsi oleh pengguna akhir (end user) misalkan sektor rumah tangga, komersial, transportasi, dan sektor industri. Sedangkan, energi primer adalah bentuk energi yang belum mengalami proses konversi atau transformasi. Berdasarkan jenisnya, energi primer bisa bersifat terbarukan (renewable) dan tidak terbarukan (non-renewable).
Terdapat tiga faktor yang bisa mempengaruhi komposisi dari bauran energi di suatu wilayah/negara, antara lain pertama ketersediaan sumber energi pada wilayah tertentu, termasuk kemungkinan untuk mengimpor. Kedua, kualitas dan jenis energi yang harus dipenuhi. Dan ketiga, kebijakan yang ditentukan berdasarkan data historis, sosial, ekonomi, demografi, lingkungan, geopolitik dll.
Jelas bahwa karena ketiga faktor di atas, bauran energi di setiap negara dapat berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat dihitung dari jumlah energi yang dapat diproduksi, diimpor dan dikonsumsi di masing-masing negara. Sebagai contoh, Berdasarkan data Dewan Energi Nasional (DEN), persentase bauran energi tertinggi tahun 2023 masih didominasi Batubara (40,46%), Minyak Bumi (30,18%), Gas Bumi (16,28%), EBT (13,09%). Padahal target bauran pada tahun depan yaitu EBT (paling sedikit 23%), Minyak bumi (kurang dari 25%), Batubara (minimal 30%) dan Gas Bumi (minimal 22%). Mengacu kepada data riil 2023 dan target bauran pada 2025, energi bersih seperti EBT dan gas bumi masih dibawah target.
Indonesia telah menjadi salah satu negara yang berkomitmen dalam mencapai net zero emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat. NZE adalah kesepakatan global untuk menekan peningkatan suhu bumi yang tidak lebih dari 1,5 derajat celcius. Jika suhu bumi terus meningkat, maka pemanasan global akan terjadi dan dapat mengancam keberlanjutan manusia dan lingkungan.
Melihat ke beberapa negara lain, bauran energi Prancis pada 2021 relatif sudah stabil sejak pertengahan 2000-an, dan terdiri dari: nuklir (42%), minyak (28%), gas bumi (16%), energi terbarukan (8%), batubara (3%) dan energi lainnya 3%.
Sementara, dibandingkan terhadap Prancis, bauran energi Amerika lebih banyak minyak bumi (36%), gas bumi (32%), lebih banyak batubara (11%), dan lebih banyak energi terbarukan (12%), tapi lebih sedikit nuklir (8%). Meningkatnya penggunaan fosil di Amerika disebabkan karena produksi shale gas dan oil yang telah berhasil. China selama ini sangat bergantung pada Batubara (55%), minyak (19%), Energi Terbarukan (15%), gas alam (9%) dan nuklir (2%). Meski di China pemanfaatan tenaga nuklir saat ini masih hanya sekitar 2%, tetapi pemanfaatannya yang masif dalam waktu dekat sedang diupayakan di negeri tirai bambu ini. Hal ini selain untuk meningkatkan dan mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi, juga guna memenuhi kebutuhan energi bagi penduduk yang sangat besar (1,5 Milyar), termasuk untuk menciptakan lapangan kerja.
Semakin ragam akan bauran energinya, maka semakin tinggi tingkat ketahanan energi suatu negara, begitupula semakin tahan terhadap ancaman dan gangguan seperti bencana alam, aksi kriminal terhadap fasilitas energi, perang/teroris, fluktuasi harga minyak bumi (oil shock), eskalasi suhu geopolitik, dan sebagainya. Negara yang tidak memiliki ketahanan energi, pasti rentan terhadap gangguan yang dapat menimbulkan krisis dan atau darurat energi.
Bauran Energi Nasional 2025 Sulit Tercapai, Ketahanan Energi Semakin Rentan
Bauran Energi Nasional dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang mengacu kepada PP No. 79 tahun 2014 sulit tercapai dan meleset dari target. Tantangan yang masih dihadapi antara lain belum terbitnya Undang-undang Energi Baru Terbarukan, kriminalisasi BUMN sebagai kepanjangan tangan pemerintah dalam menyediakan, tidak tersedia reward bagi masyarakat yang mengembangkan EBT, PLN masih menggunakan PLTU dan tata kelola yang masih terbelit dengan politik.
Pada pertengahan Agustus 2024, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan mengungkap rencana pemerintah akan menyuntik mati Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya di Cilegon, Banten. Hal ini menjadi seolah menjadi kabar baik bagi masyarakat agar dapat menghirup udara segar. Namun perlu diantisipasi lebih jauh lagi, bahwa 2040 Indonesia berpotensi defisit listrik 6-10 GW. Walaupun Indonesia kaya akan ragam energi, namun banyak sumber energi yang intermiten, lokasi yang jauh dari pengguna, dan butuh teknologi yang efisien sehingga defisit tersebut belum tentu dapat tercukupi.
Oleh karena itu, selain energi terbarukan, perlu dikembangkan dan dibangunkan pembangkit energi baru seperti nuklir. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sangat murah dari segi biaya operasionalnya dan menghasilkan energi yang bersih. PLTN mampu menutupi defisit listrik di masa depan. Jika terjadi suplai yang berlebih, listrik dari Indonesia bisa diekspor ke negara tetangga dengan Asean Power Grid. Alhasil bauran energi akan lebih bervariasi, tidak tergantung kepada satu jenis energi, dan Ketahanan Energi Indonesia semakin handal.