Jakarta, Energindo.co.id – Proses revisi UU No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) hingga kini belum tuntas dan disahkan. Padahal regulasi ini sangat dibutuhkan bagi industri hulu migas. Karena itu, Pemerintahan Prabowo Subianto diminta untuk menuntaskan persoalan krusial tersebut. Demikian salah satu poin yang disampaikan oleh Komisi Pengawas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Anggawira, dalam Forum Group Discussion (FGD) bertema “Memikat Investor Hulu Migas Demi Ketahanan Nasional” pada Senin (23/9/2024) di Jakarta.
Menurut Anggawira, belum adanya pengesahan RUU Migas menjadi cermin bahwa tidak sense of kepastian hukum dalam industri strategis ini. Padahal naluri pebisnis membutuhkan kepastian hukum.
“Harus ada positioning yang jelas apakah SKK Migas kelak akan dijadikan sebuah badan khusus atau BUMN khusus,” kata Anggawira yang juga menjabat Sekretaris Jenderal Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI). Tanpa ada kepastian hukum, sulit bagi calon investor untuk masuk dalam bisnis yang padat modal ini.
Dia juga tidak habis pikir mengapa proses pengesahan RUU Migas kalah cepat bila dibandingkan dengan pengesahan UU Minerba. “Sepertinya ada jalan buntu di RUU Migas,” tegasnya. Karena itu, dia berharap pemerintahan ke depan bisa mendorong proses ketok palu regulasi ini.
Hal senada juga diutarakan oleh
Asisten Deputi Delimitasi Zona Maritim dan Kawasan Perbatasan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi RI Sora Lokita. Menurutnya, investasi hulu migas nasional mustahil dapat terwujud dengan optimal tanpa dukungan regulasi dan jaminan hukum dari pemerintah. “Regulasi diperlukan untuk memastikan realisasi investasi dapat menopang ketahanan energi yang berkelanjutan,” katanya.
Dia menyadari pentingnya revisi Undang-undang Migas yang menjadi kebutuhan utama untuk menjadi basis legal yang komprehensif dalam memperbaiki iklim usaha hulu migas. Dia juga menerangkan bahwa pemerintah melalui rapat koordinasi tingkat menteri sempat tercuat usulan untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu), lantaran proses revisi UU Migas di badan legislatif atau parlemen tak kunjung selesai.
“Meskipun ini belum sepakat ya, ini belum policy tetapi sebagai sebuah opsi untuk bagaimana ke depan punya legal basis yang bisa lebih komprehensif karena kalau liat ada beberapa masalah fiskal yang perlu disempurnakan dan ternyata meyakinkan kolega di kementerian, nggak mudah juga,” tuturnya.
Lebih jauh Anggawira juga menyepakati agar skema bisnis industri hulu migas harus berdasarkan business to business (b to b) bukan atas rezim IUP (Izin Usaha Pertambangan). Anggawira berharap agar industri ini dalam mengambil kebijakan dapat lebih disederhanakan. “Selama ini dari SKK Migas ke Dirjen Migas dan terakhir ke Kementerian ESDM,” ungkap Anggawira.