Jakarta, Energindo.co.id – Gibran benar bahwa Indonesia kaya SDA saja tidak cukup, diperlukan hilirisasi SDA. Tapi Gibran tidak paham konsep hilirisasi dan tidak mengerti permasalahan yang dihadapi hilirisasi. Lalu berkhayal hasil fantastis hilirisasi, yang mustahil dicapai di Indonesia. Demikian diungkapkan oleh Fahmy Radhi, pengamat ekonomi-energi Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta Fahmy pada Energindo, Minggu (27/4/2025).
“Hilirisasi nikel memang menaikkan ekspor, tapi nilai tambah hilirisasi lebih besar dinikmati oleh investor China. Hilirisasi nikel juga tidak menciptakan industrialisasi dari hulu sampai hilir,” katanya.
Menurut Fahmy, produk turunan pertama smelterisasi nikel semuanya diekspor, tidak menjadi komponen industri terkait. Artinya bukan hilirisasi tapi lebih pada smelterisasi nikel dengan nilai tambah sangat rendah.
“Ironisnya, daerah, penghasil nikel dan ketempatan smelter, masih saja miskin,” terang Fahmy.
Jamak diketahui, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka berbicara soal hilirisasi dengan menjelaskan bahwa bekal kekayaan SDA (Sumber Daya Alam) saja tidak cukup jika tidak dibarengi dengan pengolahan produk. “Sekadar kaya saja ternyata tidak cukup, karena yang menjadi tantangan justru bagaimana mengolah kekayaan alam ini agar punya nilai tambah maksimal bagi masyarakat,” kata Gibran di video berjudul “Hilirisasi dan Masa Depan Indonesia” dalam kanal YouTube-nya dengan thumbnail “Hilirisasi Part 1”, Jumat (25/4/2025)
Dia bersyukur Indonesia punya cadangan nikel terbesar di dunia, punya cadangan timah terbesar kedua di dunia, penghasil rumput laut terbesar kedua di dunia, hingga eksportir bijih bauksit terbesar ketiga di dunia.
“Sayangnya Indonesia hanya menempati urutan ke-31 sebagai pengekspor panel surya. Padahal ketika bauksit diolah menjadi panel surya, nilainya bertambah 194 kali lipat. Besar sekali,” kata Gibran.