Jakarta, Energindo.co.id – Kerugian fantastis sebesar USD 14,7 juta yang disampaikan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Bumi Siak Pusako (BSP) dalam laporan keuangan tahun buku 2024 beberapa waktu lalu, mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan. Pasalnya, perusahaan minyak dan gas (migas) yang mengelola Wilayah Kerja Migas CPP Block bagi masyarakat Riau bukan sekadar perusahaan melainkan sebagai simbol kemandirian daerah dalam mengelola kekayaan alamnya.
Menurut praktisi Migas, Aris Aruna, sikap lembek jajaran pemegang saham dalam mencermati laporan keuangan PT BSP yang disampaikan dalam RUPS kemarin. Ia khawatir, kesan pembiaran atas kondisi yang terjadi akan menyebabkan kondisi PT BSP makin terpuruk lebih dalam lagi.
“Seharusnya berdasarkan potret laporan keuangan yang rugi itu, pemegang saham secara khusus pemegang saham mayoritas mengambil langkah-langkah konkret melakukan evaluasi total terhadap kinerja manajemen PT BSP,” kata Aris Aruna pada Energindo, Jumat (4/7/2025).
Ia meminta agar keberadaan PT BSP dimaknai sebagai aset daerah dan negara yang harus dikelola secara prudent dengan pendekatan bisnis dan sumber daya manusia yang tepat.
“Potensi minyak yang terkandung di CPP Blok adalah milik rakyat, bukan milik pribadi. Sehingga pengelolaannya harus dilakukan secara akuntabel dan transparan,” tegas Aris yang juga mempertanyakan sikap pemegang saham menerima begitu saja laporan keuangan PT BSP.
Sedangkan bagi Irvan Nasir, praktisi migas yang pernah bekerja di BOB PT Bumi Siak Pusako-Pertamina Hulu, pengelola Wilayah Kerja CPP Riau, mengusulkan tiga langkah kebijakan yang konstruktif, yaitu : Pertama, revisi skema gross split untuk lapangan marginal dan tua. “Pemerintah dapat mempertimbangkan skema hybrid: gross split dengan mekanisme cost recovery terbatas, khusus untuk lapangan dengan kompleksitas teknis tinggi dan risiko keekonomian rendah, atau dikembalikan kepada skema cost recovery,” katanya.
Kedua, fasilitasi fiskal dan teknis bagi BUMD migas. “Seperti halnya UKM di sektor lain, BUMD migas perlu diberi insentif fiskal dan pendampingan teknis agar dapat bersaing dalam industri dengan risiko tinggi ini,” saran Irvan. Ketiga, mendorong konsolidasi dan kolaborasi antardaerah.
“Bila pengelolaan sendiri terlalu berat, pemerintah daerah dapat didorong untuk membentuk konsorsium BUMD provinsi, berbagi risiko dan sumber daya, sehingga lebih kompetitif menghadapi tantangan industri migas modern,” kata Irvan.
Menurutnya, kerugian BSP bukan akhir dari cerita, melainkan panggilan untuk perbaikan sistemik. “Jika daerah ingin diberdayakan dalam pengelolaan sumber daya alam, maka pusat harus menyediakan desain kebijakan yang realistis dan akomodatif. Tidak semua pemain bisa memakai sepatu ukuran yang sama,” tandas Irvan.
Dengan dukungan kebijakan yang tepat, transparansi yang kuat, serta semangat profesionalisme, Irvan yakin BSP—dan BUMD migas lainnya—masih dapat menjadi tulang punggung kedaulatan energi daerah, sekaligus contoh keberhasilan desentralisasi ekonomi di sektor strategis.