Dalam rangka mendapatkan manfaat maksimal dari garis pantai, terutama untuk memperkuat ketahanan dan kedaulatan energi nasional, Presiden Prabowo Subianto telah memerintahkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk merevitaslisasi tambak mangkrak di Pantai Utara Pulau Jawa. Luasnya tak tanggung-tanggung, mencapai 78 ribu hektare, tersebar di Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, serta Jawa Timur.
Tambak yang mangkrak itu sangat luas. Sebagai perbandingan, luas daratan Provinsi DKI Jakarta saja hanya 66 ribu hektare. Jika diakumulasikan, luas tambak yang mangkrak di Pantura setara dengan daratan Provinsi DKI Jakarta plus Kota dan Kabupaten Bekasi.
Pemilik tambak mangkrak itu bermacam-macam. Ada yang dimiliki perorangan, perusahaan swasta, dan Pemerintah/Pemerintah Daerah. Tentu saja relatif mudah untuk mensinergikan para pemilik tambak yang mangkrak, dengan tujuan meningkatkan hasil sekaligus keuntungan mereka. Selama ini, tambak mangkrak itu terlihat tidak terurus, dikelola asal-asalan, dan apa adanya. “La yamutu, wala yahya, sudah tidak bermutu, habiskan biaya,” demikian candaan dari beberapa warga yang memiliki tambak mangkrak.
Tambak mangkrak itu terjadi karena berbagai alasan. Ada masalah banjir yang sering melanda wilayah Pantura, pencemaran air akibat limbah industri dan domestik yang menurunkan kualitas air, kenaikan harga pakan yang menyebabkan kerugian bagi petambak, pada saat bersamaan harga hasil tambak tidak stabil, serta perubahan iklim yang memicu anomali curah hujan dan kenaikan permukaan air laut.
Dari jumlah itu, sekitar 20 ribu hektare tambak mangkrak masuk jalur prioritas. Pemerintah Republik Indonesia telah memasukannya sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN). Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Koordinator (Permenko) Bidang Perekonomian Nomor 16 Tahun 2025 tentang Perubahan Kedelapan atas Permenko Perekonomian Nomor 7 Tahun 2021 tentang PSN. Revitalisasi tambak yang masuk dalam PSN itu berada di Jawa Barat. “Program Revitalisasi Tambak Pantura di Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang, dan Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat”, demikian tertulis dalam peraturan itu.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, sebagaimana dikutip dari laman website KKP, menjelaskan bahwa program revitalisasi tambak Pantura diyakini mampu menggeliatkan ekonomi masyarakat, membuka lapangan kerja, sekaligus memperkuat ketahanan pangan nasional. Ibarat pepatah: sekali mendayung, tiga pulau terlampaui.
Pejabat di KKP menambahkan: “Dengan konsep integrasi dan keberlanjutan, mencakup pembangunan tandon, Instalasi Pengolahan Air Limbah, rekonstruksi kolam, penggunaan benih unggul, pakan berkualitas, serta pemanfaatan teknologi terkini, tambak itu akan segera menghasilkan pangan biru,” demikian ungkap Direktur Jenderal Perikanan Budi Daya, Tb Haeru Rahayu, dalam siaran resmi KKP di Jakarta, beberapa waktu lalu.
KKP telah mengajukan permodalan dari Badan Pengelola Investasi Danantara (BPI Danantara) sebesar Rp 26 triliun. Investasi ini akan mampu merekrut 40 ribu tenaga kerja langsung, dengan asumsi setiap 1 hektar membutuhkan 2 tenaga kerja, dikalikan 20 ribu hektar lahan yang akan direvitalisasi.
Bagaimana jika BPI Danantara masih sibuk mengurus hal lain seperti pengembangan energi listrik dari sampah, lalu menunda pendanaan untuk tambak yang mangkrak? Jika hal ini terjadi, mau tidak mau, KKP harus segera mensinergikan, mengkoordinasikan, dan mengkolaborasikan perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor perikanan untuk bersama-sama merevitaslisasi tambak mangkrak itu.
Perusahaan besar yang bergerak di bidang perikanan memang tidak sebanyak perusahaan di bidang pertambangan atau perusahaan minyak dan gas, walakin perusahaan di bidang perikanan di Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata. Apalagi jika mereka bersatu padu untuk menggapai tujuan bersama, yaitu merevitalisasi tambak mangkrak, demi ketahanan dan kedaulatan pangan nasional.
Akan lebih dahsyat lagi jika perusahaan perikanan di dalam negeri, baik swasta atau BUMN, dapat mengajak mitra asingnya untuk terlibat dalam investasi bersama dalam merevitaslisasi tambak mangkrak tadi. Sudah pasti hasilnya akan lebih dahsyat.
Solusi lainnya, KKP bisa menerbitkan obligasi khusus dengan bunga yang rendah, karena dipakai untuk kepentingan nasional. Hal seperti ini sudah dilakukan oleh BPI Danantara yang berhasil menghimpun dana Rp 50 triliun melalui Patriot Bond dari para konglomerat dengan bunga 2 persen pertahun atau jauh dari bunga dari obligasi Pemerintah lainnya yang berada di atas 6 persen.
Hanya saja, obligasi yang akan diterbitkan KKP ini nantinya dibeli oleh perusahaan/perorangan secara terbatas, yaitu mereka yang mempunyai kepedulian pada ketahanan dan kedaulatan pangan nasional.
Artinya, selama KKP bekerja keras, maka pasti ada jalan untuk mendapatkan solusi terbaik. Semoga!








































































