Jakarta, Energindo.co.id – Penerapan Skema Power Wheeling di Indonesia terganjal berbagai kendala dalam operasionalisasinya sehingga diupayakan masuk dalam RUU EBET. Regulasi Power Wheeling yang ada di Permen ESDM No. 11 tahun 2021 belum mengatur tentang sistem tarif wheeling, prosedur standar untuk memperoleh lisensi power wheeling, persyaratan teknis untuk interkoneksi ke pemilik jaringan listrik, atau prosedur penyelesaian sengketa yang diperlukan. Implikasi dari penerapan konsep tersebut akan melibatkan beberapa kementerian/Lembaga sehingga dipandang tidak cukup hanya diatur dalam Peraturan Menten ESDM saja melainkan harus di atur melalui peraturan setingkat Undang – Undang.
Hal tersebut menemukan momentumnya pada tahun 2022 dengan memanfaatkan konstruksi RUU Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBET) dimana “beberapa pihak” berusaha memasukkan pasal tentang Skema Power Wheeling di RUU tersebut. Demikian salah satu poin yang mengemuka dalam perscon yang disampaikan oleh M. Abrar Ali, Ketua Umum DPP SP PT PLN pada Jumat siang (6/9/2024) di kantor PLN Pusat Jakarta.
Menurut Abrar, pada akhir tahun 2022 sampai dengan akhir tahun 2023, karena desakan dari berbagai pihak yang menyuarakan bahwa konsep Power Wheeling merupakan bentuk Liberalisasi Ketenagalistrikan yang bertentangan dengan konstitusi RI. Karena itu, lanjut Abrar, konsep tersebut gagal masuk dalam Daftar Inventarisasi Masalah RUU EBT.
Kendati demikian, kata Abrar, proses pembahasan RUU EBET tetap perlu terus dikawal oleh masyarakat agar pembahasannya tidak melenceng dari cita-cita luhur untuk meningkatkan pemanfaatan energi yang bersumber dari Energi Baru dan Terbarukan.
Lebih jauh Abrar menjelaskan bahwa
penerapan Power Wheeling dapat menimbulkan beragam dampak negatif. Sebut saja pada sisi finansial yang menurunkan permintaan Organik dan Non-Organik: Power Wheeling dapat menggerus permintaan listrik organik hingga 30% dan permintaan non-organik dari pelanggan Konsumen Tegangan Tinggi (KTT) hingga 50%.
“Hal ini akan berujung pada lonjakan beban APBN karena biaya yang harus ditanggung negara,” terangnya. Disamping itu, skema Power Wheeling bakal menjadi beban keuangan negara. “Setiap 1 GW pembangkit listrik yang masuk melalui skema Power Wheeling diperkirakan akan menambah beban biaya hingga Rp 3,44 triliun (biaya ToP + Backup cost), yang akan semakin memberatkan keuangan negara. Dampak akumulatif hingga 2030 diperkirakan akan meningkatkan beban Take or Pay (ToP) dari Rp 317 triliun menjadi Rp 429 triliun, atau terjadi kenaikan sebesar Rp 112 triliun,” papar Abrar.
Dia juga mengungkapkan bila skema Power Wheeling diterapkan akan mereduksi peran Negara. “Skema ini juga akan menciptakan kompetisi di pasar penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum, yang berpotensi mengurangi peran negara dalam menjaga kepentingan umum di sektor ketenagalistrikan,” cetusnya.
Bahkan, Power Wheeling dapat memicu perselisihan terkait harga, losses, frekuensi, dan volume yang dapat berdampak pada terhentinya pasokan listrik (blackout) dan merugikan masyarakat luas. Disamping itu, skema Power Wheeling yang bersumber dari EBT memerlukan spinning reserve tambahan untuk menjaga keandalan sistem, yang justru akan meningkatkan Biaya Pokok Produksi (BPP) dan harga jual listrik kepada konsumen.
Abrar menambahkan, skema ini juga menyebabkan harga listrik tidak terjangkau. “Penambahan beban akibat skema ToP dan investasi untuk spinning reserve akan meningkatkan BPP, yang pada akhirnya membuat harga listrik melonjak dan membebani konsumen serta APBN,” terangnya seraya mengimbuhkan skema ini dapat merusak ketahanan energi. Dengan meningkatnya risiko blackout, jaminan pasokan listrik yang stabil semakin sulit dicapai. Hal ini dapat menghambat akses terhadap listrik yang andal bagi masyarakat.