Gaung pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia senakin nyaring seiring visi misi Presiden Prabowo Subianto yang mengampanyekan kemandirian energi. Salah satu upayanya menggenjot proyek pembangunan PLTN.
Gelora membangun energi bersih berbasis uranium, khususnya isotop uranium-235 ini perlu disupport dan dikawal ketat. Jangan sampai gagal seperti di Filipina. Pasalnya, proyek PLTN di negeri berjuluk Green Revolution distop di tengah proses pembangunannya.
Kegagalan program PLTN juga melanda Pakistan. Negara pecahan India ini telah lama membangun PLTN tetapi urung dalam pengembangannya. Padahal membangun PLTN dimaksudkan untuk menumbuhkan indutri.
Sementara di Indonesia, oleh sebagian ahli nuklir, proyek pengembangan PLTN dilandasi dengan prinsip; pokoknya pokok. Pokoknya harus membangun PLTN. Mereka tidak melihat pembangunan PLTN sejatinya mendorong pertumbuhan industri. Lalu bagaimana jika PLTN yang telah dibangun tetapi industrinya tidak tumbuh? Oleh sebab itu, proyek PLTN semestinya dibangun bukan atas dasar “pokok”nya tetapi berlandaskan fondasi kokoh melalui Undang-undang (UU). Kesuksesan Korea Selatan saat membangun PLTN yang ditopang dengan UU dan lembaga-lembaga layak diduplikasi.
Terkait pembangkit energi nuklir, UU di Korsel secara kelompok terbagi dua. Ada UU bersifat pengawasan, keselamatan dan keamanan. Ada UU bersifat penggunaan dan pengembangan. Misalnya UU tentang atomic energy atau UU promosi. Di sana disebutkan Perdana Menteri yang memimpin perencanaan, strategi dan pembangunan serta koordinasi penggunaan nuklir. Ada juga UU pengembangan teknologi nuklir, termasuk fusi dan visi yang sifatnya penggunaan. Disamping itu ada pula UU Pengawasan. Pengawasan ini menjadi titik krusial di Korsel dalam mengimplementasikan PLTN.
Menurut Besar Winarto, Ketua Umum Perkumpulan Profesi Nuklir Indonesia (APRONUKI) aspek pengawasan merupakan kunci utama proyek PLTN. “Badan Pengawas harus berada di bawah langsung Presiden sebagai Kepala Negara. Sedangkan Majelis Tenaga Nuklir (MTN), institusi yang ditugaskan membangun PLTN, berada di bawah Presiden sebagai Kepala Pemerintahan. Hal ini mengadopsi regulasi di Korsel yang sukses mengembangkan PLTN,” kata Besar pada Energindo, beberapa waktu lalu di Jakarta. Oleh sebab itu, tatakelola energi berbasis nuklir yang bagus sangat menentukan berhasil dan gagalnya proyek energi bersih ini.
Hal fundamental lain yang menjadi perhatian di Korsel adalah sumber daya manusia (SDM). Setiap Perguruan Tinggi dan Universitas yang memiliki Fakultas Teknik di Korsel dipastikan mempunyai Jurusan Nuklir Engineering. Selain Perguruan Tinggi, lembaga-lembaga riset atau Korea Atomic Energy Research (KAERI) juga banyak berdiri. Antara Perguruan Tinggi dan lembaga riset pun saling bersinergi. Bahkan di perkotaan Korea Selatan juga berdiri Rumah Sakit yang khusus menangani korban kecelakaan nuklir.
Selain Perguruan Tinggi, lembaga-lembaga riset seperti Korea Atomic Energy Research (KAERI) juga banyak berdiri.
Pelaksanaan pembangunan energi nuklir Korsel diawasi oleh badan pengawas Komisi Keamanan dan Keselamatan Nuklir (NSSC), sebuah badan independen di bawah tanggungjawab Presiden Korea Selatan yang memastikan penggunaan energi nuklir yang aman dan terjamin.
Tanggung jawab NSSC meliputi pemberian izin, inspeksi, dan pengawasan fasilitas nuklir, termasuk reaktor, fasilitas daur ulang bahan bakar, dan pengelolaan limbah radioaktif. Kerangka regulasi bersifat komprehensif, meliputi berbagai aspek seperti standar keselamatan, kesiapsiagaan darurat, dan tanggung jawab atas kecelakaan.
Aspek utama regulasi energi nuklir Korsel, yaitu dibuatnya Undang-Undang Keselamatan Nuklir. Undang-Undang ini memberikan dasar hukum bagi kegiatan NSSC, yang menguraikan tanggung jawab untuk manajemen keselamatan, termasuk penelitian, pengembangan, dan penggunaan energi nuklir.
Perizinan dan Inspeksi:
NSSC mengatur semua tahapan fasilitas nuklir, dari persetujuan lokasi hingga izin konstruksi, inspeksi pra-operasional, izin operasi, dan tinjauan keselamatan berkala.
Kesiapsiagaan Darurat:
NSSC mengharuskan pemegang lisensi untuk memiliki rencana dan prosedur guna mencegah dan mengelola kecelakaan parah, termasuk tindakan penanganan pemadaman listrik, banjir, dan potensi pelepasan radioaktif.
Tanggung Jawab dan Kompensasi:
Operator nuklir bertanggung jawab atas kerusakan yang disebabkan oleh operasi mereka, dengan mekanisme asuransi pertanggungjawaban, perjanjian kompensasi, atau simpanan untuk menutupi potensi biaya.
Pengelolaan Limbah Nuklir:
NSSC juga mengawasi pengelolaan limbah radioaktif, termasuk penyimpanan dan pembuangan.
Nonproliferasi: Korsel juga memiliki komitmen kuat terhadap nonproliferasi dan mempertahankan kebijakan Semenanjung Korea bebas nuklir.
NSSC bekerja sama erat dengan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) dan badan internasional lainnya untuk memastikan kepatuhan terhadap standar internasional dan praktik terbaik.
Sejarah kegiatan nuklir
Upaya untuk melakukan kegiatan nuklir damai di Republik Korea dimulai pada tahun 1957 ketika negara tersebut menjadi Negara Anggota IAEA. Tahun berikutnya, Republik Korea mengesahkan Undang-Undang Energi Atom. Pada tahun 1959, Kantor Energi Atom didirikan untuk penggunaan energi atom secara damai.
Republik Korea telah melaksanakan program tenaga nuklir yang sangat ambisius sejak tahun 1970-an, sejalan dengan kebijakan industrialisasi. Negara ini telah mempertahankan komitmen yang kuat terhadap pengembangan tenaga nuklir sebagai bagian integral dari kebijakan energi nasionalnya, yang bertujuan untuk mengurangi kerentanan eksternal terhadap kekurangan bahan bakar fosil global.
Proses lokalisasi teknologi tenaga nuklir di Republik Korea telah mencakup perancangan, manufaktur, konstruksi, operasi dan pemeliharaan, fabrikasi bahan bakar, dan pembangunan infrastruktur regulasi keselamatan dalam waktu yang relatif singkat, selama beberapa dekade. Sebagai bagian dari tren ini, tingkat kemandirian teknologi yang tinggi di berbagai bidang industri nuklir telah tercapai melalui pembangunan unit Hanbit 3 dan 4. Saat ini, teknologi NPP dan teknologi siklus bahan bakar terkait telah mencapai kematangan teknologi dan realisasi di pasar.
Republik Korea saat ini memiliki 24 reaktor operasional dengan kapasitas bersih 23,25 GW(e), yang menyediakan 27,4% listrik negara tersebut hingga akhir tahun 2021. Empat reaktor dengan tambahan kapasitas bersih 5,6 GW(e) sedang dibangun.
Pemerintah baru, yang dipilih pada bulan Maret 2022, telah berjanji untuk meningkatkan investasi di industri tenaga nuklir negara tersebut guna mempromosikan ekspor teknologi nuklir dan mencapai tujuan netralitas karbon.
Nuklir di Indonesia
Sejarah pengembangan nuklir di Indonesia dimulai sejak tahun 1954 dengan penelitian dan pengembangan teknologi nuklir. Pada tahun 1965, reaktor penelitian pertama, Triga Mark II, diresmikan di Bandung, diikuti oleh reaktor Kartini di Yogyakarta pada tahun 1979 dan reaktor serba guna MPR RSG-GA Siwabessy di Serpong pada tahun 1987. Meskipun telah memiliki reaktor penelitian, Indonesia belum memiliki pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN).
Tahapan Sejarah Nuklir di Indonesia:
1954: Dimulai penelitian dan pengembangan teknologi nuklir.
1956: Indonesia memposisikan diri sebagai “Negara Nuklir” dengan mencanangkan “Nuklir untuk Maksud-Maksud Damai”.
1958: Dibentuk Dewan Tenaga Atom dan Lembaga Tenaga Atom, yang kemudian disempurnakan menjadi BATAN.
1965: Diresmikan reaktor nuklir penelitian pertama, Triga Mark II, di Bandung.
1970an: Dimulai studi kelayakan untuk pembangunan PLTN.
1979: Reaktor nuklir penelitian kedua, Kartini, diresmikan di Yogyakarta.
1987: Diresmikan reaktor serba guna MPR RSG-GA Siwabessy di Serpong.
2005: Program PLTN kembali dijalankan.
2015: BATAN mengembangkan program Reaktor Daya Eksperimental (RDE).
2020an: Rencana pembangunan PLTN untuk memenuhi target energi baru terbarukan.
Fokus pada Pemanfaatan Damai:
Indonesia telah menggariskan fokus pada pemanfaatan teknologi nuklir untuk tujuan damai, seperti dalam bidang kesehatan, pertanian, dan industri. Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) melakukan pengawasan terhadap penggunaan teknologi nuklir, memastikan kepatuhan terhadap standar keamanan internasional. Indonesia juga telah meratifikasi NPT (Non-proliferation Treaty) dan Comprehensive Safeguard Agreement, menunjukkan komitmen untuk mencegah penyebaran senjata nuklir.
Pembangunan PLTN:
Meskipun telah melakukan studi kelayakan dan memiliki reaktor penelitian, Indonesia belum membangun PLTN. Pemerintah berencana untuk mempercepat pembangunan PLTN dalam beberapa tahun mendatang untuk memenuhi target energi baru terbarukan, dengan harapan dapat mulai beroperasi sekitar tahun 2029-2032. Karena itu, menduplikasi kesuksesan Korsel dalam mengembangkan PLTN patut menjadi pertimbangan dan pembelajaran sehingga energi bersih tersebut tidak saja dapat mendorong pertumbuhan ekonomi seperti cita-cita Presiden Prabowo tetapi juga tidak mengancam keselamatan nyawa manusia.