Sekitar 14 tahun lalu, mantan Wakil Presiden Amerika Serikat sekaligus penerima hadiah Nobel Perdamaian Tahun 2007, Al Gore, pernah menyatakan bahwa Indonesia bisa menjadi negara super power jika dapat memanfaatkan energi panas bumi yang tersedia. Pesan ini disampaikan dalam Seminar “The Climate Project Asia Pacific Summit” di Balai Sidang Senayan Jakarta, Minggu, 9 Januari 2011.
Panas bumi merupakan salah satu penghasil hidrogen hijau yang sedang trending di dunia. Hidrogen hijau merupakan bahan bakar paling ramah lingkungan karena diproduksi dengan sumber energi terbarukan sehingga tidak menghasilkan emisi karbon, serta bisa digunakan untuk berbagai kerperluan, hatta untuk kebutuhan industri besar dan alat transportasi berat.
Trend Global
Kini, pengembangan hidrogen hijau menjadi tren global. Menurut catatan Institute For Essential Service Reform (IESR), Jakarta, investasi global untuk hidrogen hijau pada 2020 mencapai 102 proyek dengan nilai US10 milyar. Namun pada 2024 meningkat tajam menjadi 434 proyek dengan US75 miliar.
Peningkatan investasi itu sesuai dengan permintaan. Merujuk data Hydrogen Council (2024), Brussels, Belgia, permintaan hidrogen hijau di pasar global akan terus meningkat, dari 90 juta ton pada 2020 menjadi 140 juta ton pada 2030, meningkat lagi menjadi 385 juta ton pada 2040, serta 660 juta ton pada 2060. Untuk kebutuhan dalam negeri, PT Pertamina NRE memperkirakan kebutuhan pada 2050 akan mencapai 469 terawatt jam (TWh).
Sejauh ini, China, Amerika Serikat (AS), India, Rusia, dan Inggris menjadi negara yang mempunyai permintaan tinggi pada hidrogen hijau. Secara global, penggunaan hidrogen hijau didominasi oleh sektor ketenagalistrikan, transportasi, dan industri.
Banyak persoalan untuk dapat memanfaatkan hidrogen hijau, sebagaimana banyak duri untuk memetik bunga mawar yang merekah. Persoalan itu adalah: Pertama, biaya produksi yang mahal. Investasi untuk mengolah hidrogen hijau masih tinggi, berkisar antara US$3,8 per kilogram hingga US$12 per kilogram. Artinya, biayanya sekitar empat sampai enam kali lebih mahal dibandingkan energi dari fosil (minyak dan gas).
Kedua, hidrogen hijau rata-rata berada di pedalaman, sehingga membutuhkan biaya besar untuk infrastruktur, lalu untuk konstruksi. Setelah ada hasilpun masih memerlukan biaya besar untuk jaringan transmisi listrik.
Ketiga, kebijakan pemerintah untuk pengembangan hidrogen hijau masih setengah hati. Misal, di satu sisi mendorong energi hijau, namun di sisi lain masih memberi subsidi besar untuk energi fosil.
Menjadi Investasi Menarik
Meski begitu, secara ekonomis, pemanfaatan hidrogen hijau masih menjadi investasi yang menarik. Hal ini karena biaya yang dibutuhkan hanya untuk investasi awal saja, sementara selanjutnya tinggal memetik hasil dengan biaya perawatan yang relatif terprediksi.
PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) telah melangkah maju, dengan membangun 22 unit Green Hydrogen Plant (GHP) tersebar di seluruh Indonesia. Sampai akhir tahun 2024, PT PLN mampu memproduksi 203 ton per tahun dan akan terus meningkat dari tahun ke tahun. Sebanyak 75 ton hidrogen hijau digunakan untuk kebutuhan PLN sendiri dan sebanyak 128 ton hidrogen hijau digunakan untuk mendukung kebutuhan lain, antara lain untuk alat transportasi dan industri.
Sejauh ini, PT PLN dianggap paling serius dalam mengembangkan hidrogen hijau. PT PLN menjadi produsen hidrogen hijau terbesar di Asia Tenggara. Karena itu, BUMN ini layak menjadi pemimpin pengembangan hidrogen hijau di masa kini dan di masa mendatang.
Selain PT PLN, perusahaan BUMN lain yakni PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) mulai terlibat, dengan membangun unit produksi hidrogen hijau di Ulubelu, Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung, sejak 9 September 2025. Sayang, belum ada proyeksi hidrogen hijau yang akan dihasilkannya. Walakin, pembangunan ini merupakan fasilitas pertama di dunia yang mengintegrasikan teknologi Anion Exchange Membrane (AEM) Electrolyzer dengan energi panas bumi untuk menghasilkan hidrogen hijau.
Sementara itu, anak usaha PT Astra International, PT Bina Pertiwi pada ajang Mining Expo 2025, 17–20 September 2025, menampilkan forklift Plug in Hydrogen Fuel Cell yang dirancang untuk meningkatkan efisiensi sekaligus mengurangi jejak karbon. Meski baru akan memproduksi secara massal pada awal 2026 nanti, kehadirannya mampu menarik perhatian banyak pengunjung. Awal mula, Forklift ini menggunakan baterai penuh. Namun, kapasitas baterainya kini dikurangi hingga 80 persen, lalu digantikan oleh fuel cell berbasis hidrogen hijau. Ini menunjukan bahwa penggunaan hidrogen hijau cukup kompetitif secara bisnis.
Perusahaan swasta lainnya, PT United Tractors Tbk (UT), bersama anak perusahaannya PT Energia Prima Nusantara (EPN), mulai terlibat dalam inovasi hijau, yang meliputi solusi bisnis hijau, pengembangan pembangkit hijau, serta pengembangan hidrogen hijau untuk industri.
Data di atas menunjukan meski hidrogen hijau merupakan “barang sulit”, namun BUMN di Indonesia dan beberapa perusahaan swasta telah aktif terlibat dalam pengembagannya, dengan segala macam kekurangan dan masih bisa diperbaiki di masa mendatang.
Alternatif Pendanaan
Terlepas dari berbagai kesulitan itu, dukungan Pemerintah terhadap pengembangan hidrogen hijau patut diapresiasi. Berdasarkan keterangan dari Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, saat membuka “Global Hydrogen Ecosystem Summit (GHES) 2025” di Jakarta, Selasa (15/4/2025), bahwa Pemerintah mendukung pengembangan hidrogen hijau melalui tiga hal, yaitu: Pertama, penataan regulasi dan insentif, dengan target untuk menciptakan ekosistem hidrogen hijau yang berkelanjutan. Kedua, membangun ekosistem hidrogen hijau, terutama untuk mempertemukan produsen dan konsumen. Ketiga, meluncurkan Roadmap Hidrogen dan Amonia Nasional (RHAN), sebagai pijakan pengembangan hidrogen hijau.
Akan lebih berdaya guna jika dukungan Pemerintah di atas difokuskan pada pendanaan. Karena keuangan negara masih “galau” dengan hutang-hutangnya yang jatuh tempo, maka bisa dilakukan dengan cara menghimpun sebagian dana Corporate Social Responsibilty (CSR). Sesuai dengan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, perusahaan perlu mengalokasikan 2-4 persen dari keuntungannya untuk CSR.
Berapa dana CSR yang sudah ada di Indonesia? Tak ada hitungan pasti. Tapi jumlahnya kira-kira sebagai berikut: Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada 2025 diproyeksikan mencapai Rp24.316 triliun. Jika keuntungan perusahaan setara dengan pertumbuhan PDB yang kira-kira sebesar 5 persen berdasarkan perhitungan pesimistis, maka keuntungan perusahaan Indonesia diperkirakan Rp 1,215 Triliun. Jika begitu, maka dana CSR perusahaan diperkirakan sekitar Rp4 Triliun. Nah, kalau Rp 1 Triliun saja dari dana CSR seluruh perusahaan itu digunakan untuk hidrogen hijau, maka hasilnya relatif memenuhi kebutuhan awal investasi.
Cara lainnya adalah memohon keikhlasan dari pelanggan PLN untuk memberikan sumbangan sebesar Rp 1000 perbulan, namun dengan jaminan kalau hidrogen hijau sudah terproduksi, maka uang pelanggan dikembalikan dalam bentuk pulsa listrik.. Sebagai informasi, sampai Mei 2025 pelanggan PLN berjumlah 85,4 juta pelanggan. Ini berarti dalam satu bulan akan terkumpul Rp 85,4 Miliar atau Rp. 1,020 Triliun pertahun. Ini merupakan jumlah yang juga memadai untuk dana awal investasi energi hijau.
Untuk mengeksplorasi hidrogen hijau, baik dengan menghimpun dana CSR atau dari masyarakat (pelanggan PLN), atau dengan mekanisme pendaan lain, diperlukan lembaga dengan personalia yang kredibel, transparan, dan akuntable. Tikus-tikus nakal tidak boleh mendekat, apalagi ikut berkecimpung di dalamnya.
Semua hal di atas memberikan optimisme bahwa Indonesia akan berada di barisan terdepan dalam menghasilkan hidrogen hijau di masa depan. Semoga!











































































