Paus Fransiskus mencuci kaki rakyat Indonesia. Lukisan Artificial intelligence (AI) karya Denny JA ini terasa memotret aura religiositas Paus yang peduli nasib orang miskin dan memiliki komitmen pada dialog antariman.
Religiositas adalah sesuatu yang lebih melihat aspek yang “di dalam lubuk hati,” riak getaran hati nurani pribadi;sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena menapaskan intimitas jiwa, ducoer dalam arti Pascal, yakni cita-rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi) kedalaman pribadi manusia. Karenanya, pada dasarnya religiositas “mengatasi”atau lebih dalam dari agama yang tampak, formal dan resmi. religiositas lebih bergerak dalam tata paguyuban (gemeinschaft) yang cirinya lebih intim. (Sastra dan Religiositas, Kanisius Yogyakarta1988).
Lukisan penggagas puisi esai ini menggedor-gedor mata batin dan akal budi setiap insan yang berpikir. Betapa tidak, pemimpin tertinggi umat Katolik sedunia sekaligus kepala negara Vatikan ini sepenuh hati diimajinasikan membasuh kaki rakyat Indonesia.
Terus terang, ilustrasi yang mengaduk-aduk mata batin ini memantulkan beragam tanya; Apa makna tersirat ilustrasi ini? Apakah ini pantulan kondisi bangsa Indonesia terkini yang begitu “kotor” sehingga perlu dibasuh? Noda dan dosa apa yang menjerumuskan perilaku anak bangsa ini ke tubir sumur tanpa dasar sehingga perlu disucikan oleh manusia sekelas Paus Fransiskus?
Bila menelisik lebih jauh realitas sosial negeri ini, taruhlah perilaku ormas keagamaan yang justru mencemplungkan diri ke kubangan pengelolaan tambang batu bara perusak lingkungan. Padahal pengurus ormas keagamaan adalah orang-orang yang mengerti dan khatam tentang ayat di Al Quran, yang artinya;
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (dampak) perbuatan mereka. Semoga mereka kembali (ke jalan yang benar)” (Surat Ar-Rum/30: 41).
Namun, mereka justru terjebak untuk turut (akan) menyumbangkan kerusakan ekologi yang justru menjadi concern dari Paus Fransiskus. Bahkan tatakelola tambang disinyalir rentan terhadap kongkalikong dan koruptif.
Diketahui, Paus Fransiskus mencetuskan ide tentang Tobat Ekologis dalam Ensiklik Laudato Si pada 24 Mei 2015. Surat dari Paus ini, tertulis prinsip-prinsip teologi tentang tanggung jawab lingkungan yang dilakukan untuk mengatasi krisis ekologi dan perubahan iklim.
Laudato Si bisa juga diartikan sebagai transformasi hati dan pikiran menuju cinta yang lebih besar terhadap Tuhan, sesama, dan ciptaan.
Ini adalah sebuah proses untuk mengakui kontribusi kita terhadap krisis sosial dan ekologi dan bertindak dengan cara yang memelihara persekutuan: menyembuhkan dan memperbaiki rumah bersama, seperti dilansir dari laman Laudato Si Movement.
Menurut laman Gereja Katolik St. Timothy, Arizona, Paus Fransiskus menuliskan di awal dokumen bahwa target audiensnya bukan hanya umat Katolik atau Kristen, tetapi semua orang.
Terdapat 7 tujuan dari Laudato Si, yaitu: Pertama, tanggapan terhadap tangis Bumi.
Kedua, menjawab tangis orang miskin. Ketiga, ekonomi ekologi. Keempat, penerapan gaya hidup sederhana. Kelima, pendidikan ekologi. keenam, spiritualitas ekologi dan ketujuh, keterlibatan masyarakat dan tindakan partisipatif.
Gerakan-gerakan tersebut dapat dianggap sebagai pertobatan ekologis setelah manusia sudah lama melakukan dosa ke Bumi. Laudato Si atau Tobat Ekologis dimulai untuk membuat Bumi menjadi tempat tinggal yang lebih baik.
Dalam pandangan penulis, boleh jadi noda dan dosa lain di kaki rakyat Indonesia yang patut dibasuh oleh Paus Fransiskus adalah tabiat rasuah. Ironisnya, Muslim adalah identitas mayoritas penduduk Indonesia. Terkesan, nilai-nilai agama tak berkorelasi positif dan mempengaruhi perilaku pelaku koruptif. Karenanya, tidak berlebihan jika disebut perilaku koruptif nyaris menjadi “kebudayaan” baru bangsa Indonesia.
Para terpidana korupsi yang telah divonis pengadilan melakukan tindak korupsi senilai miliaran hingga triliunan rupiah, tanpa merasa malu tersenyum, tertawa dan dengan bangga melambai-lambaikan tangan ketika sorot kamera stasiun televisi mensiarkannya sebagai berita utama. Lebih aneh lagi, mereka dielu-elukan bak pahlawan yang datang dari laga perang dengan membawa panji-panji kemenangan.
Ironisnya, saat di rumah tahanan, mereka justru diperlakukan istimewa, seperti layaknya pangeran dengan segala fasilitas mewahnya. Sementara tahanan kriminal maling kelas teri semisal pencuri ayam, pencuri tanaman singkong, maling bambu dihajar babak belur hingga bonyok tanpa ampun. Padahal mereka terpaksa mencuri sekadar hanya untuk membeli susu balitanya atau untuk makan sehari-hari.
Terasa lebih menyesakkan hati lagi tatkala Ketua KPK Nawawi Pomolango mengungkapkan data dan fakta bahwa jumlah tertinggi pelaku tindak pidana korupsi justru dilakukan oleh pejabat eselon Aparatur Sipil Negara (ASN). Dengan ungkapan lain, mereka yang diindikasikan melakukan tindak koruptif bukan rakyat miskin, papa, atau mereka kaum pinggiran dan termarjinalkan.
Berdasarkan statistik KPK per 22 Januari 2024, terdapat 1.681 tindak pidana korupsi telah ditangani oleh lembaga antirasuah ini. Dari ribuan kasus tersebut, sejumlah profesi dan jabatan pernah terlibat kasus korupsi, mulai dari anggota lembaga perwakilan rakyat, kepala lembaga atau kementerian, serta kepala pemerintahan daerah. Ada pula jajaran pejabat eselon atau jabatan struktural di kalangan pegawai negeri sipil (PNS), swasta, hingga profesi berkenaan dengan penegakan hukum.
Sementara kasus korupsi yang pelakunya wali kota/bupati atau wakilnya sebanyak 8 kasus, kepala kementerian/lembaga dan duta besar masing-masing 4 kasus, serta hakim, pengacara, gubernur, dan jaksa masing-masing 2 kasus. Sedangkan Eselon I, II, III dan IV terdapat 61 kasus.
Kendati demikian, Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia tahun 2024 sebesar 3,85 pada skala 0 sampai 5. Angka ini lebih rendah dibandingkan capaian 2023 sebesar 3,92. Nilai indeks semakin mendekati 5 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin antikorupsi, sebaliknya nilai indeks yang semakin mendekati 0 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin permisif terhadap korupsi. Jadi, turunnya skor IPAK bukanlah prestasi. Sebab, makin rendah nilainya, makin rendah pula perilaku antikorupsi.
Sepak terjang Paus Fransiskus ini mengingatkan penulis pada mendiang Romo Mangunwijaya. Paus Fransiskus peduli terhadap kaum miskin, papa dan terpinggirkan. Pun jua Romo Mangunwijaya yang juga seorang Katolik.
Paus Fransiskus berpesan kepada orang-orang miskin. Pesannya (akan) disampaikan dalam Peringatan Hari Orang Miskin Sedunia ke-8 pada tanggal 17 November 2024. “Saudara-Saudari terkasih! Doa orang miskin didengarkan oleh Allah (lih. Sir 21:5). Pada tahun yang didedikasikan untuk doa dalam rangka menyambut Yubileum Biasa tahun 2025 ini, ungkapan kebijaksanaan alkitabiah ini sangat tepat untuk persiapan kita menyambut Hari Orang Miskin Sedunia yang Kedelapan, yang akan diperingati pada tanggal 17 November. Memang benar, dalam pengharapan Kristiani termuat kepastian bahwa doa kita sampai ke hadirat Allah; bukan sembarang doa melainkan doa orang miskin! Mari kita renungkan kata ini dan “membacanya” pada wajah dan kisah orang-orang miskin yang kita jumpai sehari-hari, sehingga doa dapat menjadi jalan persekutuan dengan mereka dan turut serta dalam penderitaan mereka,” demikian pesan Paus Fransiskus, seperti disinyalir di https://www.dokpenkwi.org/pesan-paus-fransiskus-untuk-hari-orang-miskin-sedunia-2024/.
Dia tidak sekadar berpesan kepada orang miskin tetapi turut mempraktikkan pola hidup sederhana dan tidak formalistik. Dia misalnya memilih untuk tinggal di wisma Domus Sanctae Marthae daripada di apartemen kepausan di Istana Apostolik yang digunakan oleh Paus sebelumnya.
Diceritakan pula, ketika masih menjadi Kardinal Bergoglio, khotbahnya selalu berdampak di Argentina dan ia sering menekankan inklusi sosial, dan secara tidak langsung mengkritik pemerintah yang tidak memperhatikan kelompok masyarakat yang terpinggirkan. Menurut Francesca Ambrogetti, yang ikut menulis biografinya, mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa daya tarik publik terhadapnya terletak pada gaya hidupnya yang “sederhana dan asketis”.
Bahkan selama 15 tahun menjadi uskup agung Buenos Aires, dia melakukan banyak perjalanan dengan kereta bawah tanah dan bus. “Umat saya miskin dan saya adalah bagian dari mereka,” katanya lebih dari sekali, saat menjelaskan keputusannya tinggal di sebuah apartemen dan memasak makan malamnya sendiri.
Begitu pula kisah Romo Mangun. Ia memilih tinggal bersama dan membela kaum miskin, papa dan mereka yang termarjinalkan di tepian Kali Code, Yogyakarta sekaligus ikut menata ulang ruang dan rumah-rumah tinggal mereka sehingga layak huni. Ilmu arsitektur yang dikuasai Romo Mangunwijaya coba diejawantahkan di pemukiman warga Kali Code. Jadi, titik temu antara Paus Fransiskus dan Romo Mangunwijaya keduanya sama-sama mengabdi pada warga miskin, kaum papa dan mereka yang termarjinalkan.
Jika kembali ke lukisan Paus Fransiskus mencuci kaki rakyat Indonesia maka dapat dimaknai selain sebagai ruh religiositas Paus Fransiskus juga bisa disebut kritik simbolik pensucian dari noda, kotoran dan dosa kolektif sebuah bangsa. Karena itu, Tobat Nasional menjadi keniscayaan agar kembali ke jalan yang lurus sehingga menjadi bangsa yang diridhai-Nya. Semoga!