Penggunaan energi hijau mulai menjadi tren global. Menurut catatan Institute For Essential Service Reform (IESR), Jakarta, investasi global untuk hidrogen hijau pada 2020 mencapai 102 proyek dengan nilai US10 milyar. Namun pada 2024 meningkat tajam menjadi 434 proyek dengan US75 miliar.
Pemerintah Indonesia menyambutnya dengan menata regulasi dan memberikan insentif, lalu membangun ekosistem hidrogen hijau guna mempertemukan produsen dan konsumen, serta meluncurkan Roadmap Hidrogen dan Amonia Nasional (RHAN), sebagai panduan pengembangan hidrogen hijau. “Semua itu menunjukan bahwa Pemerintah bersemangat mengembangkan hidrogen hijau,” begitu ungkap Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, saat membuka “Global Hydrogen Ecosystem Summit (GHES) 2025” di Jakarta, Selasa (15/4/2025).
Menyambut dukungan Pemerintah itu, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) telah melangkah maju, dengan membangun 22 unit Green Hydrogen Plant (GHP) tersebar di seluruh Indonesia. Hidrogen hijau bersumber dari pengembangan energi baru terbarukan (EBT), terutama melalui tenaga surya dan tenaga panas bumi.
Melalui langkah itu, sampai akhir tahun 2024, PT PLN mampu memproduksi 203 ton per tahun dan akan terus meningkat dari tahun ke tahun. Sebanyak 75 ton hidrogen hijau digunakan untuk kebutuhan PLN dan sebanyak 128 ton hidrogen hijau digunakan untuk mendukung kebutuhan lain, termasuk kendaraan berbahan bakar hidrogen hijau.

Sejauh ini, PT PLN yang dianggap paling serius dalam mengembangkan hidrogen hijau. PT PLN menjadi produsen hidrogen hijau terbesar di Asia Tenggara. Karena itu, kepemimpinan BUMN ini di masa kini dan di masa mendatang menjadi keniscayaan.
Selain PT PLN, perusahaan BUMN lain yakni PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) mulai terlibat, dengan membangun unit produksi hidrogen hijau di Ulubelu, Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung, sejak 9 September 2025. Sayang, belum ada proyeksi hidrogen hijau yang akan dihasilkannya. Walakin, pembangunan ini merupakan fasilitas pertama di dunia yang mengintegrasikan teknologi Anion Exchange Membrane (AEM) Electrolyzer dengan energi panas bumi untuk menghasilkan hidrogen hijau.
Sementara itu, anak usaha PT Astra International, PT Bina Pertiwi pada ajang Mining Expo 2025, 17–20 September 2025, menampilkan forklift Plug in Hydrogen Fuel Cell yang dirancang untuk meningkatkan efisiensi sekaligus mengurangi jejak karbon. Meski baru akan memproduksi secara massal pada awal 2026 nanti, kehadirannya mampu menarik perhatian banyak pengunjung. Awal mula, Forklift ini menggunakan baterai penuh. Namun, kapasitas baterainya kini dikurangi hingga 80 persen, lalu digantikan oleh fuel cell berbasis hidrogen hijau. Ini menunjukan bahwa penggunaan hidrogen hijau cukup kompetitif secara bisnis.
Perusahaan swasta lainnya, PT United Tractors Tbk (UT), bersama anak perusahaannya PT Energia Prima Nusantara (EPN), mulai terlibat dalam inovasi hijau, yang meliputi solusi bisnis hijau, pengembangan pembangkit hijau, serta pengembangan hidrogen hijau untuk industri.
Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero, Darmawan Prasodjo, menjelaskan bahan bakar dari kendaraan berbasis hidrogen lebih murah dibandingkan dengan harga bahan bakar dari kendaraan berbasis BBM dan listrik. Dalam sebuah kesempatan pada acara Global Hydrogen Summit 2025 di Jakarta, Selasa, (15/4/2025) lalu, Darmawan menjelaskan hasil uji coba mobil Innova (Toyota) berbasis BBM membutuhkan biaya bensin Rp 1.300 perkilometer. Jika menggunakan listrik, melalui home charging membutuhkan sekitar Rp 300 perkilometer dan jika melalui Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU), biaya bahan bakarnya mencapai Rp 550 per kilometer. Sementara itu, jika menggunakan hidrogen hijau biayanya hanya Rp 270 perkilometer.
Selain lebih murah, penggunaan hidrogen hijau tidak memerlukan biaya perawatan mahal dan risiko habisnya masa pakai baterei.
Memang, hidrogen hijau mahal pada biaya investasi awal di hulu, namun ketika sampai di hilir, biayanya sangat murah. Untuk mencapai nol karbon pada 2060, menurut Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) diperlukan investasi sebanyak US$25,2 miliar atau membutuhkan kurang dari US$1 miliar setiap tahun.
Melihat angka itu, keterlibatan Pemerintah sangat dinantikan, dengan memobilisasi segala macam daya untuk mengembangkan hidrogen hijau.









































































