Jakarta, Energindo.co.id – Posisi iklim investasi hulu migas Indonesia di Asia Pasifik berada di peringkat 9 dari 14
negara (Laporan IHS Markit (S&P Global), Juni 2025). Salah satu poin dari laporan itu
adalah bahwa telah terjadi tren perbaikan dan peningkatan dalam overall attractiveness rating dari di bawah 4,75 pada tahun 2021 menjadi 5,35 pada tahun 2025. Empat elemen kunci menjadi tolok ukur di dalam pengukuran rating tersebut, yaitu (1) activities & success, (2) fiscal system, (3) oil and gas risk, dan (4) legal & contractual. Secara umum, dalam ketiga aspek pertama rating iklim investasi hulu migas Indonesia terus mencatatkan perbaikan, sementara pada aspek ke-4, yaitu legal & contractual,
cenderung mengalami stagnasi dan memerlukan terobosan, yaitu adanya kebutuhan akan payung hukum yang lebih kuat.
Mencermati tren positif iklim investasi hulu migas Indonesia dan adanya kebutuhan untuk payung hukum yang lebih kuat tersebut, Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner mengatakan, aspek activity & success, Indonesia mencatatkan rating tinggi sebesar 6,03 pada tahun 2025, naik dari sekitar 5,00 pada 2020, mencerminkan bahwa prospek aktivitas dan keberhasilan investasi hulu migas masih sangat kompetitif.
“Pencapaian rating tersebut juga sejalan dengan tren investasi eksplorasi yang juga terus meningkat dari sebesar US$ 0,5 miliar pada 2020 meningkat menjadi US$ 1,3 miliar pada 2024, dengan proyeksi mencapai US$
1,5 miliar pada 2025,” kata Komaidi, Kamis (14/8/2025). Secara rata-rata, peningkatan tahunan selama periode tersebut tercatat sebesar 25,01%.
Terkait butir (1), kata Komaidi, temuan cadangan di Geng North dan Layaran pada tahun 2023 yang masuk dalam kategori
penemuan giant field, serta capaian eksplorasi pada tahun 2025 dengan success ratio sebesar 56% (10 penemuan dari 18 sumur), dan total post drill recoverable resource mencapai sekitar ±82,32 MMBOE
mengkonfirmasi rating tinggi aspek activities & success hulu migas Indonesia.
Berdasarkan laporan Wood Mackenzie, Rystad Energy, dan S&P Global, hasil eksplorasi di Geng North dan Layaran termasuk dalam lima penemuan laut dalam (deepwater) terbesar di dunia pada tahun 2023.
Dalam aspek fiscal systems, Indonesia mencatatkan rating sebesar 5,11 pada tahun 2025, meningkat dari sekitar 5,00 pada tahun 2020. “Penerapan kebijakan fleksibilitas bagi KKKS untuk dapat memilih sistem kontrak (PSC Cost Recovery, PSC Gross Split dan
New-Simplified Gross Split), untuk dapat beralih dari sistem kontrak dari PSC Gross Split ke PSC Cost Recovery, adanya penawaran dan tambahan split yang lebih baik pada kontrak yang ada, dan juga adanya signature bonus yang dapat dinegosiasikan
merupakan faktor-faktor yang menjadikan rating hulu migas Indonesia dalam aspek fiscal systems meningkat selama lima tahun terakhir ini,” papar Komaidi.
Dalam aspek legal & contractual, rating hulu migas Indonesia tercatat mengalami stagnasi. “Rating hulu migas Indonesia dalam aspek ini dalam 5 tahun terakhir relatif stagnan pada skor 5,34. Dalam aspek legal & contractual ini, iklim investasi hulu migas
Indonesia ada pada peringkat ke-13 dari 14 negara di kawasan Asia Pasifik,” ungkap Komaidi. Secara khusus, di dalam aspek
legal & contractual ini, disebutkan bahwa
keberadaan Undang-Undang Minyak dan Gas (UU Migas) yang baru sangat diperlukan untuk menciptakan kepastian hukum, contract sanctity dan stabilitas fiskal yang lebih baik.
Pihaknya, lanjut Komaidi, memandang bahwa penerbitan UndangUndang Migas yang baru merupakan kebutuhan
mendesak dan perlu menjadi prioritas pemerintahan Presiden Prabowo. Urgensi ini tidak hanya sekedar untuk meningkatkan overall attractiveness rating iklim investasi hulu migas Indonesia, tetapi juga dalam mendukung agenda strategis pemerintah
mewujudkan swasembada energi dan meningkatkan ketahanan energi nasional. Dari sisi konstitusional, penerbitan UU Migas yang baru juga penting dilakukan sebagai bentuk pelaksanaan atas amanat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 002/PUU-I/2003,
No. 20/PUU-V/2007, dan No. 36/PUU-X/2012, yang secara prinsip menegaskan pentingnya penataan ulang sistem pengelolaan migas nasional agar selaras dengan ketentuan dan semangat UUD 1945.
Dari sisi substansi, imbuh Komaidi, memandang bahwa UU Migas baru secara prinsip perlu mengatur dan memuat setidaknya 3 (tiga) elemen fundamental yang diperlukan untuk meningkatkan efektifitas bekerjanya sistem Kontrak Kerja Sama (Production Sharing Contract/PSC). Ketiga elemen tersebut, ungkap Komaidi, yang selama ini hilang dari kerangka pengaturan
dalam Undang-Undang Migas No. 22/2001, adalah:
A) Penerapan prinsip assume and discharge di dalam hal perpajakan Kontrak KerjaSama:
Assume and discharge (A/D) merupakan prinsip di mana kontraktor hanya akan diwajibkan membayar pajak langsung, sedangkan pajak tidak langsung akan ditanggung dan dibebaskan oleh pemerintah. Perhitungan bagian negara dan
kontraktor yang berasal dari kegiatan usaha hulu migas adalah penerimaan bagian
bersih karena telah mencakup perhitungan komponen pajak (assume and discharge).
Sejalan dengan prinsip ini, tambah Komaidi, juga diperlukan penerapan asas lex specialis dengan menegaskan bahwa ketentuan perpajakan hulu migas mengikuti ketentuan UU Migas secara khusus.
“Penerapan kedua asas ini di dalam sistem perpajakan hulu migas akan memberikan kepastian hukum lebih baik di dalam aspek fiskal pelaksanaan Kontrak Kerja Sama (PSC),” tandasnya.
B) Penerapan prinsip pemisahan urusan administrasi dan keuangan Kontrak Kerja
Sama dengan urusan pemerintahan dan keuangan negara (state finance):
Prinsip ini, lanjut Komaidi, mengatur bahwa pengelolaan keuangan kontrak PSC dilakukan di dalam kerangka kerja sama dan administrasi usaha (business administration). Dengan adanya pemisahan ini, seluruh permasalahan menyangkut aspek keuangan, perbedaan perhitungan, maupun perselisihan yang muncul dalam pelaksanaan PSC, termasuk temuan audit oleh lembaga pemeriksa negara, akan diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian sengketa usaha yang diatur dalam kontrak PSC, dan tidak dikaitkan dengan administrasi maupun mekanisme hukum keuangan negara dan juga pidana.
Secara konseptual, penerapan prinsip ini mensyaratkan agar badan usaha yang
menjalankan kuasa usaha pertambangan nantinya diwajibkan menyediakan
(dana/asset) cadangan umum untuk menanggung potensi kerugian dari pelaksanaan kontrak.
C) Penerapan prinsip single door bureaucracy/single institution model yang
mengurus hal administrasi/birokrasi/perizinan Kontrak Kerja Sama:
“Prinsip ini mengatur bahwa perizinan yang diperlukan untuk pelaksanaan kegiatan
usaha hulu migas akan diterbitkan oleh satu institusi. Institusi tersebut juga menjadi
entitas yang mengurus seluruh perizinan lintas kementerian, lembaga, maupun
pemerintah daerah, yang diperlukan di dalam pelaksanaan kegiatan usaha hulu migas,” tutur Komaidi.
Secara konseptual, institusi yang sama juga memiliki kewenangan atas proses lelang
wilayah kerja (WK); mulai dari penyiapan, penyusunan dan evaluasi, penawaran hingga
penetapan badan usaha/kontraktor pemenang WK.
Di luar ketiga elemen fundamental yang telah disampaikan pada butir di atas, Komaidi
memandang UU Migas yang baru juga perlu mencakup sejumlah ketentuan tambahan
yang dapat meningkatkan daya tarik investasi kegiatan usaha hulu migas secara lebih progresif, diantaranya:
a. Pengaturan mengenai pengalihan komitmen pasti
UU Migas yang baru perlu mengatur tentang kemungkinan pengalihan komitmen pasti
yang tidak terealisasi untuk dapat dialihkan ke wilayah kerja lain atau area terbuka
yang tersedia.
b. Pengaturan mengenai mekanisme konsolidasi biaya untuk tujuan pengurangan
pajak
UU Migas yang baru perlu mengatur peluang bagi perusahaan yang memiliki lebih dari
satu Kontrak Kerja Sama (PSC) untuk dapat mengkonsolidasikan biaya operasional
antar kontrak dalam rangka perhitungan pengurangan pajak. Dengan demikian, perusahaan migas memperoleh perlakuan yang setara dengan sektor industri lainnya, khususnya dalam hal kebijakan fiskal dan perpajakan.
c. Pengaturan mengenai manajemen emisiCO2
UU Migas yang baru perlu menegaskan bahwa kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK), termasuk implementasi teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) dan Carbon Capture, Utilization and Storage (CCUS) diakui sebagai bagian dari aktivitas
hulu migas. Dengan demikian, dalam konteks PSC yang ada, seluruh biaya yang
dikeluarkan dalam rangka pengurangan emisi dikategorikan sebagai biaya operasional, yang dapat dimasukkan dalam skema pengembalian biaya operasi (cost recovery) atau pengurang pajak sesuai ketentuan fiskal yang berlaku.
d.Pembentukan Petroleum Fund
UU Migas yang baru perlu mengatur pembentukan Petroleum Fund sebagai sumber pendanaan khusus untuk mendukung kegiatan eksplorasi hulu migas, termasuk untuk peningkatan kualitas data lelang wilayah kerja (WK) dan pelaksanaan pengeboran sumur eksplorasitahap awal.