Jakarta, Energindo.co.id – Tindak lanjut kesepakatan pembiayaan iklim (new collective quantified goal on climate finance/NCQG) sebesar US$1,3 triliun menjadi salah satu isu yang rencananya dibahas dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim ke-30 (COP30) di Belem, Brasil. Dukungan berbagai pihak di dunia, termasuk pemerintah di seluruh dunia, perlu direalisasikan agar pembiayaan iklim tersebut dapat dialirkan lebih cepat untuk mengatasi krisis iklim.
André Aranha Corrêa do Lago, Presiden COP30, meminta hal tersebut dalam surat terbuka pertamanya. Surat ini memperkuat dorongan Presidensi Brasil dalam COP30 terkait pentingnya aksi bersama untuk mengatasi darurat krisis iklim, dan merinci sejumlah isu penting untuk dibahas dalam COP30.
Pertama, desakan kepada pemerintah-pemerintah, bank pembangunan multilateral, dan sektor swasta untuk mempercepat aliran dana dan menetapkan langkah yang sejalan dengan Perjanjian Paris dan merealisasikan pembiayaan iklim US$1,3 triliun. Kedua, komitmen untuk mendorong kemajuan Global Stocktake dan target COP28 untuk meningkatkan energi terbarukan tiga kali lipat, efisiensi energi dua kali lipat, dan beralih dari bahan bakar fosil.
Ketiga, memprioritaskan perlindungan dan pemulihan hutan. Keempat, mendorong kerja sama antar negara-negara berkembang untuk menentukan arah dan kemajuan dari COP. Kelima, mendorong agar COP30 lebih dari sekedar negosiasi dan menuntut pemimpin-pemimpin global merealisasikan janji dan komitmen mereka.
“Peta jalan Baku-Belem US$1,3 T harus menjadi pendorong pembiayaan rendah karbon dan sebagai jalur ketahanan iklim bagi negara-negara berkembang. Mengutip kembali peringatan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), pembiayaan, teknologi, dan kerja sama internasional merupakan faktor penting untuk mempercepat aksi iklim. Untuk mencapai target iklim, baik pembiayaan adaptasi dan mitigasi iklim harus meningkat berkali-kali lipat,” Lago menegaskan.
Marina Silva, Menteri Lingkungan dan Perubahan Iklim Brasil, menuturkan, surat Presiden COP30 tersebut merupakan panggilan kepada pemerintah-pemerintah, masyarakat sipil, ilmuwan, pelaku bisnis, masyarakat adat dan komunitas lokal untuk mengatasi perbedaan dan bersatu dalam era baru aksi iklim yang fokus merealisasikan komitmen Perjanjian Paris. Salah satunya yakni keputusan untuk menyusun Global Ethical Stocktake (GES), inisiatif global untuk memperkuat pembatasan kenaikan suhu maksimal 1,5°C, pada COP30.
“Dengan ini, Presidensi COP30 Brasil mendorong pergerakan global kerja sama antarnegara untuk menghadapi perubahan iklim, yang bersandar pada penguatan multilateralisme, satu-satu jalur untuk merealisasikan misi ini,” tutur Silva.
Menanggapi surat tersebut, Kjell Kühne, Direktur Leave it in the Ground Initiative (LINGO), sepakat perlunya kerja sama internasional dalam mengatasi krisis iklim, terutama untuk melawan dominasi kelas atas yang terus mendorong bahan bakar fosil. “Sistem keuangan harus direformasi agar memperhitungkan biaya lingkungan dan sosial yang selama ini diabaikan. Dengan kemauan politik yang benar, institusi seperti IMF dan bank sentral dapat mengucurkan dana triliunan guna mempercepat transisi energi, jika pemerintah mengizinkannya,” kata dia.
Sementara itu, Toya Manchineri, General Coordinator Coordination of Indigenous Organizations of the Brazilian Amazon (COIAB), menekankan pentingnya beralih dari bahan bakar fosil, selain berbagai upaya perlindungan hutan. “Kita tidak bisa lagi menunda peralihan sepenuhnya dari bahan bakar fosil. Surat Presiden COP30 menyerukan keberanian dan ambisi, di mana ketiadaan ambisi akan berarti tidak ada kepemimpinan. Hutan Amazon tidak akan bertahan meski kita melakukan berbagai upaya, jika kita tetap membakar bahan bakar fosil,” dia menekankan.
“Agar pembahasan bahan bakar fosil masuk dalam agenda konferensi, perlu ada tekanan kuat dan masif, dan kepemimpinan Brasil dalam COP30 membuka peluang ini. Surat tersebut menyatakan bahwa COP30 bisa menjadi titik balik perlawanan krisis iklim dan kita dapat memenangkannya. Untuk mengubah permainan ini, Brasil harus bermain menyerang,” tambah Marcio Astrini, Sekretaris Eksekutif Climate Observatory network.